Bumi Pun Tersenyum

Niken Sari
Chapter #12

BAB 12 Aku Menangis

“Kau membacanya, Kak? Kenapa buku itu ada di sini?” tanya gadis itu yang sebelumnya sempat mendiamkan Krisna sesaat dengan menunjukkan wajah cemberutnya.

           “Sedikit, aku juga tidak sempat menghabiskan semuanya. Kondisimu kritis sekali, Andini.”

           Saat itu, Andini sudah kehilangan berat lebih banyak karena ia tidak mau makan sama sekali. Kulitnya mulai terlihat memucat, apalagi lingkaran hitam yang tampak di bawah matanya.

           “Kau merasa baik?”

           “Ehm, aku baik-baik saja. Aku sudah tidak betah tidur di tempat yang membosankan ini. Bau obat-obatan itu membuat perutku mual, tolong....rayu ibuku, Kak. Aku mau pulang.” Andini mengambil buku harian yang sebelumnya tergeletak di atas meja. Lalu diam merenunginya. Entah apa yang tengah ia pikirkan saat itu, mungkin ia berpikir akan menulis apa selanjutnya di dalam buku tersebut.

           “Kita tunggu perintah dokter. Berbaringlah...”

           “Kak...,”

           “Ya?”

           “Terima kasih atas bantuannya.”

           “Kau menganggapku sebagai kakak, kau pun kuanggap sebagai adik. Istirahatlah, aku akan memanggil ibumu ke mari.”

           “Aku tak punya ibu, Kak. Ibuku sudah mati.”

           Krisna terdiam, menatap wajah sendu yang melukiskan satu rahasia terpendam di dalam hatinya.

           “Aku tahu itu.”

           “Dan aku juga akan mati,”

           “Tidak, kau tidak akan pernah mati.”

           “Aku sakit, Kak. Sakit...”

           “Itu hanya pikiranmu, Andini. Kau hanya kelelahan, memikirkan semuanya tanpa bersedia dibantu oleh siapapun, yang mungkin mereka dapat meringankan bebanmu. Apa yang sedang kau cari?”

           Andini mendongak ke atas, melihat ke arah jam dinding. “Aku seperti melihat jam itu mulai bergerak mundur.”

           “Hah? Kau bilang apa, Andini.”

           Gadis itu terus menatap jam dinding, “Detik jarum itu mundur ke belakang, kau lihat?”

           Krisna mulai merasakan Andini sudah berbicara yang aneh-aneh dan ia berpikir mungkin saja itu terjadi karena pengaruh obat yang baru saja diminumnya. “Tidurlah, kau pasti lelah.”

           “Jam itu mundur ke belakang. Jika saja jam itu terus bergerak mundur, aku ingin kembali ke masa ayah dan ibu saat mereka bertemu. Aku ingin mengubahnya, sekali saja. Agar semua ini tak akan pernah terjadi.” Ucapan yang mulai meracau dan suara yang terdengar lirih karena ia merasa sedikit mengantuk. Andini merebahkan tubuhnya dan memalingkan wajahnya, menatap ke arah jendela. Pandangannya seakan-akan menembus sang waktu. “Kak, apa kau pernah mendengar puisi ini?”

           “Ya, puisi apa?”

           “Biarkan bumi mengambil apa yang menjadi miliknya. Bagi Aku, manusia, tidak punya akhir.” Ucapnya pelan sebelum akhirnya gadis itu memejamkan matanya. Dan terlihat tidak bergerak, hanya suara napasnya yang masih terus terjaga. Ia tidur, tertidur dan mungkin pula dibuat tidur. Lelaki itu menyelimuti Andini, sebelum ia keluar dari kamar inap tersebut, untuk merokok dan tetap setia menjaganya di luar.

           Sedangkan gadis itu, ruh gadis itu mulai menembus sang waktu. Menerobos masuk ke dalam alam masa lalu, berlari...berlari dan berlari..., bumi seakan-akan memintanya untuk lekas-lekas memaksanya sampai menuju ke sebuah alam lain, melewati sebuah lorong cahaya. Di mana ia berlomba-lomba, berlari bersama dengan angin yang dan punggung Andini yang tiba-tiba mengeluarkan sayap..., sayap-sayap putih yang kemudian menerbangkannya. Terbang, ke sebuah tempat. Untuk merubah kehidupan semesta dan takdir Tuhan. Detik jam itu terus mundur ke belakang, menyisakan sebuah teka-teki. Kejadian-kejadian yang seharusnya tak akan pernah terjadi. Jika ayah dan ibunya tak akan pernah bertemu, kini ia menjadi anak siapa? Sayap-sayap putih menerbangkan tubuh gadis itu, menari-nari bersama awan-awan putih di langit. Ia mendongak ke atas, dan sekilas seperti melihat secercah cahaya Tuhan yang menyilaukan pandangannya. Dan sang angin yang dengan dahsyatnya mendorong tubuhnya yang mungil itu jatuh ke bawah, sayap-sayap putih yang tiba-tiba menghilang. Ia jatuh...jatuh dan terus terjatuh, menembus awan-awan yang menabraknya, dan sempat ia mendengar bunyi Krraak, ketika menerobos awan putih seperti kapas tersebut. Andini menjerit ketakutan, ia tak mau mati. Tak mau mati. Namun, tubuhnya tetap terjatuh....

           Hingga pada saat ia terhenti dari semuanya. Ketika sang waktu mulai berbicara.

*

           Lelaki itu mulai ikut membaca artikel-artikel yang telah terkumpul di meja redaksi base camp UKKI. Sendiri duduk di depan komputer untuk menyalin kembali artikel-artikel hikayat sufi yang dirasa menarik dan layak diterbitkan untuk menjadi sebuah majalah bulanan. Ia berhenti tepat di sebuah judul artikel yang membuatnya diam terpaku membacanya.

Fulan Yang Licik

Pada zaman dahulu ada seorang lelaki yang suka menipu. Gonta-ganti nama, sudah menjadi kebiasaan dalam hidupnya. Semua penduduk kampung memberinya julukan: Fulanut-Thirar alias Fulan yang licik. Pekerjaan sehari-harinya menipu di pasar. Yang menjadi sasaran prakteknya adalah orang kampung yang datang ke kota. Pada suatu hari, di tengah pasar dia bertemu dengan seorang lelaki kampung. Dengan lincah dia memerankan diri, menyampaikan salam sambil menyapa: “Saudara, engkau adalah teman bapakku kan? Hari ini aku mengundangmu ke rumahku.” Lelaki kampung itu menjawab: “Aku tidak mengenal ayahmu.” Jurus berikutnya si Licik bicara: “Ah, barangkali engkau lupa. Aku sama sekali tidak melupakan wajahmu.” Lalu si Licik mengajak sang lelaki kampung masuk ke restoran. Dia memesan segala macam makanan dan minuman yang disukai. Sudah menjadi tradisi, dinegeri itu bila memesan makanan di restoran bayar belakangan. Setelah makanan tersaji, dinikmatinya hingga lahap. Ketika tinggal sedikit, si Licik pura-pura keluar ke kamar kecil, lalu pergi meninggalkan restoran. Selesai makan, si pemilik restoran minta bayaran kepada lelaki kampung yang tidak tahu apa-apa. Tahunya, dia diajak makan oleh kenalan barunya. “Aku adalah tamu dari lelaki yang keluar tadi,” kata lelaki kampung lugu. Dia sadar terkena tipu. Mau tidak mau, dia harus membayar seluruh makanan yang dipesan si Licik.

           Perbuatan menipu dilakukan si Licik setiap hari sepanjang hidupnya. Suatu ketika dia sakit. Pada saat sakaratul maut, dia memberikan uang dalam jumlah banyak kepada dua orang lelaki, dengan pesan: Bila dia mati, dua orang bayaran ini agar mengiring jenazahnya sambil mengatakan: “Sebaik-baik mayit adalah mayit lelaki shalih ini.” Merasa mendapat bayaran besar, pesan itu dilakukan hingga akhir pemakaman. Ketika orang-orang yang berta’ziyah pulang meninggalkan pekuburan, datanglah ke kuburnya dua malaikat untuk mengajukan pertanyaan kubur. Tapi pada saat malaikat hendak mengajukan pertanyaan kepadanya, datang suara memanggil: “Hai malaikat-Ku, tinggalkanlah hamba ini. Sebab semasa hidupnya dia selalu melakukan hal aneh. Akan meninggalpun masih melakukan hal yang aneh pula. Dia membayar dua orang lelaki agar mengiring jenazahnya sambil mengatakan bahwa dirinya adalah mayit yang baik. Karena itu, Aku telah mengampuni dosa-dosanya lantaran kesaksian dua orang yang mengatakan bahwa dia adalah mayit yang baik, sekalipun dua saksi itu saksi bayaran. “Demikian, dengan kelicikannya dia dapat menyiasati Allah subhanahu wa ta’ala.” Lelaki itu mengakhiri ceritanya dengan menyebut nama Allah.

 

By: Andini

           Lelaki muda itu sempat tertegun sesaat ketika ia selesai membacanya, bahwa kisah itu adalah sebuah kisah yang mana beberapa saat lalu pernah ia ceritakan pada seorang gadis yang menelponnya tiap malam.

           “Andini? Yang menulis ini, Andini?” tanyanya sendiri, kemudian ia mencari-cari artikel-artikel lain untuk mencari sebuah nama. “Pelangi...? Kenapa tidak ada artikelnya Pelangi?”

Lihat selengkapnya