Kedua bayangan itu tiba-tiba melesat. Berlari secepat angin, mengaburkan pandangan dan membuat tanya, tentang apakah bayangan itu? Ia berkelebat secepat lari para hantu yang dikejar malaikat karena telah menggoda manusia baik-baik. Bayangan itu berhenti di depan sosok seorang gadis yang termenung sendiri di bawah pohon beringin tua. Menyapa namun tak sanggup untuk berkata, memeluk pun tak apa walau itu tertembus cahaya.
Pada senja, kekalbuan hati nan asa. Bertumbuh pekatnya air mata yang membasah di pipi. Ia sendiri. Ditemani angin-angin yang semenjak tadi berbisik-bisik syahdu nan pilu, seakan tahu hal apa yang terjadi setelah ini. Pada menit di mana penantian itu serasa sia-sia belaka, untuk kedua kali. Apakah kali ini angin dan bayangan itu telah salah menebak takdir Tuhan? Bahkan para malaikat pun tak tahu akan sebuah misteri itu. Pada apa yang akan terjadi setelah ini.
Di bawah pohon beringin tua. Gadis itu beranjak. Dan mengambil sebuah batu gamping yang ada di sekitar. Ia mulai menorehkan sebuah nama untuk pertama kalinya, walau terkesan sedikit kampungan dan abege, ia tak apa berpikir untuk menjadi seperti mereka-mereka para pemuja cinta.
Pelangi aka Andini
Love
El
Pada sebuah janji yang urung ditepati, gadis itu menatap goresan tangannya dengan batu gamping. Sekilas senyumnya terlihat, lalu menghilang dengan kesenduan asa. Kapan? Tubuhnya telah lama menanti sejak dua jam lalu, dan tak terlihat olehnya sosok El di hadapannya. Apakah ketidakhadiran ini adalah satu pertanda, bahwa El tidak ingin menemui dan mengerti bahwa ia akan menyatakan cinta di tempat ini?
Yang mungkin, bagi sebagian orang adalah tempat kuno.
Semenit, sepuluh menit, lima belas menit telah berlalu sejak dua jam yang lalu. Walau ia harus dengan sekuat tenaga menahan air mata agar tak terjatuh. Namun, air mata tak mengenal kata kompromi, bahwa ia telah menangis, menangis sedih. Seketika ia berbalik, untuk mengambil tasnya dan memutuskan untuk pulang ke rumah dengan tangan hampa. Tiba-tiba sesosok lelaki tengah berdiri di hadapannya, menatapnya dengan tatapan terkejut dan ragu, sekaligus kikuk.
“El....?”
“Sudah kuduga Pelangi itu adalah kau.”
“El...!” Andini masih tetap terus memanggil namanya berkali-kali karena saking girangnya.
Suasana mendadak berubah menjadi kaku. Semuanya saling adu pandang dan mencoba untuk beralih, berlari dari perasaan ragu dan takut yang terus beradu mencapai titik akhir.
“Pelangi.., aku harus memanggilmu apa?”
“Eh.., Andini...,”
Sunyi merintih kesakitan, seolah sunyi itu tak ingin tetap bertahan sunyi, ayo katakan...terus terang! Katakan, Andini. Sebuah perasaan yang bergolak dengan jiwamu selama ini, yang terkungkung oleh bayangan cermin yang telah kau pecahkan dengan tanganmu.
Andini mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk, “El...”
“Andini, aku...aku mau mengatakan sesuatu.”
“Apa itu?”
“Eh, lebih baik kau dulu saja.” Pinta El padanya.
Hening, saling bertatapan malu-malu, tanpa tahu akan setiap rahasia lidah yang sebentar lagi akan terucap dan terdengar.
Senja makin menyenja, pohon beringin tua seakan menampakkan kesuramannya. Andini lekas-lekas mengutarakan akan isi hatinya yang selama ini tersimpan. Walau dengan tubuh gemetar dan hati ragu, tak siap jika menghadapi satu kata penolakan.
“El, sebenarnya aku ....aku, suka padamu.”
Detik serasa terhenti, dan gadis itu sangat mengharapkan semuanya terhenti, kata yang telah terucap dan telah tertawar-tawar dengan sebuah kompromi keji. Bagaimana jika, bagaimana jika dan bagaimana jika...
Lelaki itu terdiam, merenung. Mengalihkan pandangannya pada gedung kampus hijau yang lampu-lampunya baru saja dinyalakan. Untuk mengusir kegelapan. Yang sama dengan gelapnya hati El, saat ini. Bahwa ia tak dapat menyangkal sebuah perasaan, itu. Perasaan itu, yang tumbuh seiring dengan waktu dan membuat hatinya berdesir-desir. Degup jantungnya berdetak semakin keras dan seakan terhantam palu.
“Andini, aku..., kau?”
Gadis itu tiba-tiba menjadi antusias untuk mengetahui jawabannya, ia terus menatap mata El tanpa berkedip namun amat sangat berharap. Ia kembali menunduk, dalam batas norma, sejujurnya seorang gadis tabu untuk mngutarakan perasaan terlebih dahulu. Karena jika tertolak, maka yang didapat adalah rasa malu yang tak berkesedahan.
“Andini, maafkan aku.”
“Hah?”
“Aku, tidak pantas kau cintai,”
Andini menatap fokus padanya, tangan dan kakinya semakin gemetar. Ia tahu...tahu! Tapi tak pernah mau berharap...
Akan tetapi, sosok lelaki itu yang baru saja melihat tetesan air mata yang mengalir membasahi pipi gadis itu. Tiba-tiba perasaannya tertunduk, ia tak dapat melukai hati dan cinta seorang gadis yang mencintainya. Bahkan jika sebenarnya, rasa itu masih penuh dengan garis keraguan.