Bumi Pun Tersenyum

Niken Sari
Chapter #16

BAB 16 Saat Cinta Itu, Pergi Ke Laut

gadis itu berlari-lari kencang dari pintu gerbang. Nafasnya terengah-engah, lekas-lekas ia naik ke lantai atas untuk menyendiri selama beberapa saat. Tak ada ketentraman yang ia dapatkan ketika berada di rumah, saat semua orang memandangnya sebagai si pesakitan. Dan dilarang keluar rumah terlalu lama, dengan berlakunya semua peraturan ini dan itu, makin membuat kepalanya semakin pusing. Apalagi saat dengan tegas, ibunya meminta Andini agar cuti sementara dari kelas perkuliahan untuk menjalani pengobatan kemoterapi.

           [Seorang yang lemah akan selalu menjadi lemah, saat semua orang memandangnya lemah...]

           Itu adalah pesan dari Krisna ketika dirinya masih menjalani kegiatan orientasi kampus yang amat sangat menyita waktunya. Dengan air mata yang keluar sia-sia. Sekarang, saatnya ia harus berjuang. Walau hanya dengan berteriak dari lantai atas, agar perasaannya yang kacau menjadi kembali tenang. Langkah kakinya terhenti tepat di anak tangga terakhir di mana jika ia berbelok ke kanan maka akan sampai pada ruang perpustakaan. Tapi jika ia berbelok ke kiri, maka disanalah tempat bersemayam Andini utnuk merenungi diri dan melamun.

           Ia tak ingin ibunya lebih menderita lagi karena kondisi keuangan yang semakin seret. Jika ia terpaksa harus makan lauk pauk seadanya seperti yang pernah dibawanya, itu tak masalah baginya. Tapi Andini tidak ingin jika semua orang susah karenanya, apalagi Andini bukanlah anak kandung. Melainkan anak titipan, jadi ia tak berhak untuk mengeluh.

           Kini, gadis itu berhenti di depan sebuah jendela yang mana biasanya ia tempati jika tengah bergundah hati. Sudah lama rupanya, ia tak mendatangi tempat ini. Dulu, saat dirinya tengah asyik menyantap makanan, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sosok laki-laki yang mengepulkan asap rokok ke arahnya, sampai ia terbatuk-batuk sekaligus mengumpat.

           [menjerit, adalah satu-satunya cara untuk meluapkan perasaan...]

           Gadis itu menarik napas pelan sebelum ia mengeluarkan tenaga untuk melepaskan segala amarah yang terpendam. Satu...dua...tiga,

           “Aku tidak mau mati!!! Aku tidak mau mati muda!!!” teriaknya keras, menghantam sang angin yang sebelumnya berhembus lembut. Andini mengulangi kata-kata. Lagi-lagi, air matanya jatuh mengalir, untuk kesekian kalinya, ia menangis. Bukan menangisi kematian ayah dan ibunya, melainkan ia menangis karena tahu bahwa umurnya tak akan lama lagi. Dua tahun adalah masa yang singkat, dua tahun adalah waktu yang penuh dengan tanda tanya, dan apakah ia sanggup menjalani masa dua tahun itu jika Tuhan tak mempercepat ajalnya.

           Dinding menjadi sandaran, tengadah kepala menatap awan putih di langit yang rupanya tak bersahabat, hari itu mendung dan suram. Seakan awan tersebut mengerti benar perasaannya kali ini. Masih saja terisak-isak, mengutuk diri sendiri dengan kata-kata umpatan yang keji.

           [bahwa aku tak ada beda dengan anak sundal!...]

           Kini, ia telah kehilangan teman-teman baiknya. Wina, guru pembimbing rohaninya, yang mendadak lenyap tanpa bekas dan hanya meninggalkan selembar surat penjelasan, tentang kenapa dia pergi. Krisna, sang pemuja alam yang tak pernah terlihat lagi batang hidungnya, semenjak itu.

           El, yang teguh berprinsip menolaknya dengan mengatakan tidak boleh berpacaran sebelum masuk ke anggota TNI AL.  Yang masih belum dapat ia terima sebagai alasan penolakan. Dan dokter yang memvonis usianya hanya tinggal dua tahun lagi. Sempat ia berpikir, apakah tidak lebih baik mati sekarang daripada harus menanti dua tahun dengan segala macam penyiksaan batin.

           Semua telah lenyap. Yang tersisa hanyalah keluarganya, ayah, ibu dan saudara angkatnya. Dan mereka adalah yang paling terakhir meninggalkan gadis itu seorang diri, di dunia.

           “Sedang apa kau di sini?” celetuk suara seorang lelaki yang mengarah padanya, dan tepat di belakang Andini, ia mengintip dari balik jendela. Sambil asyik menghisap rokok dan mengepul-ngepulkan asap ke atas. Seperti saat pertama kali gadis itu melihatnya untuk pertama kalinya.

           Pertemuan pertama, yang tak pernah ia lupakan. Bahkan sampai saat ini, kembali ia dikejutkan lagi oleh kedatangan laki-laki yang sama.

           Andini lekas-lekas mengusap air matanya, agar ia tak ditemukan lagi tengah bersedih hati. “Kau lagi?”

           “Ini tempat nongkrongku, bersama rokok-rokok yang kujadikan sebagai teman setiaku. Kau mau?” ia menawari gadis itu sebatang rokok. Sontak gadis itu terkejut sampai ia membelalakan matanya. Tak habis pikir, apa yang ada di dalam pikiran seorang laki-laki yang menawari sebatang rokok pada gadis berjilbab? Apakah ia tak memiliki etika?

           Rona wajah Andini perlahan-lahan memerah padam. Ditamparnya pipi kanan laki-laki yang menurutnya tidak tahu diri itu, lalu melempar batang rokok itu ke wajahnya pula.

           PLAK!

           “Orang sepertimu, tak pantas mengajak bicara seorang perempuan. Jika kau tak pernah sekalipun mengenal kata dan cara bagaimana menghormati.” Gadis itu secepat kilat melangkah pergi dan meninggalkan orang yang dirasa brengsek tersebut kembali seorang diri. Namun, saat Andini baru saja melangkahkan kaki pertamanya turun pada anak tangga pertama, tiba-tiba laki-laki itu menarik lengannya.

           “Hei, tunggu!”

           Andini menoleh dan langsung refleks melepaskan tarikannya yang kuat menahannya. “Apa-apaan kau ini? Main pegang-pegangan segala.”

           “Tunggu dulu! Aku mau bicara...!”

           “Bicara apa?! Sopan sekali nadamu?”

           “Karena itu jangan pergi dulu!”

           Hening..., suasana berubah menjadi hening. Hanya tatapan mata merekalah yang saling berbicara.

           “Kau sebenarnya siapa?”

           “Aku, Koko, namaku Koko.”

           “Kenapa kau selalu bersikap aneh dan kasar?”

           “Maafkan aku sebelumnya, aku hanya sengaja memancing emosimu.”

           “Untuk apa?”

           “Memberimu sebuah kabar.”

           “Kabar apa?”

           “Aku, aku sudah memperhatikanmu sejak lama, setelah pertemuan pertama kali itu. Aku selalu menguntitmu, ke mana kau pergi. Mencarimu dari kelas ke kelas.”

           Andini mengernyit, “Aku nggak pernah sekalipun melihatmu masuk kelas?”

           “Memang,”

           “Kau pasti bohong..., sudahlah ... aku tak peduli padamu. Jangan halangi aku lagi.” Andini membalik punggungnya kemudian ia berlari turun meninggalkan Koko seorang diri dengan tatapan penuh tanya. Sampai ia kembali memanggil-manggil namanya dan berusaha mengejar gadis itu.

*

           [....berjalan-jalan di ujung senja, menanti di lembah penantian cinta. pada masa, yang tak akan pernah datang, nan sia-sia. ]

           Pada sebuah apakah kali ini aku akan bercerita mengenai nasib? Pada bayang semu yang akan mengantarkanku tentang kalimah cinta yang tak abadi.

........................

Facebook:

apa yang kau pikirkan?

Hari ini, aku bercerita tentang arti sebuah bumi. Apakah kalian tahu, bahwa nanti bumi akan menangisi kematianku..., ya, kematianku...

Lihat selengkapnya