[...ketika tuhan mulai menetapkan satu tanda, titik tanpa koma...]
Dua tahun telah berlalu.
Tanpa rasa telah tertumbuh, pada sebuah musim kering. Sedang tubuh gadis itu makin lama makin terlihat kurus kering, duduk di kursi roda. Dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang kentara jelas. Segaris senyumnya tersungging di dalam rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya sedemikian rupa. Ia menolak pengobatan kemoterapi dan radiasi, persebab ia percaya pada Tuhan, bahwa Dia-lah Maha Pemberi Kesembuhan. Berada di atas panggung acara wisuda akhir tahun angkatannya. Andini memakai pakaian wisuda beserta toga-nya, meraih gelar cumlaude dalam skripsinya.
Bukanlah sebuah hal yang mudah dicapai setelah apa yang dialaminya tersebut sangat menghambat aktivitasnya untuk tetap dapat mengikuti kuliah tiap harinya. Jika tidak ada seorang kekasih yang mendampinginya, El. Mungkin saja, ia tak kuat dan tak dapat bertahan selama itu tanpa melakukan pengobatan medis yang telah disarankan oleh dokter. Mereka semua tampak gembira, namun ada satu orang yang tak begitu menyenangi kelulusannya.
Adalah dia, Krisna. Yang dulunya selalu menjadi seorang penyelamat kematian. Ia menyambut kedatangan Andini yang menyapanya senang. Senyum itu, tak akan bisa terlupa sampai kapanpun.
“Aku berhasil lulus, predikat cumlaude.”
“Doamu tercapai, Andini.”
“Berkat dukungan semuanya.”
“El...”
Gadis itu tersipu-sipu mendengarnya. Ia menoleh ke belakang mencari El yang tiba-tiba menghilang dari penglihatannya.
“Kak, kau lihat El?”
“Tidak. Tapi barusan dia bersamamu, kan?”
“Ya,” jawabnya ragu dan mulai sedikit bingung. “tapi, sekarang aku tidak tahu dia ke mana.”
“Aku bantu mencarinya.”
“Terima kasih, Kak. Aku masih bisa menjalankan kursi roda ini sendiri. Kak Krisna cari di sebelah sana saja, aku ke kiri.”
“Baiklah, aku pergi dulu!” pamitnya kemudian ia berlari menuju gerombolan-gerombolan para wisudawan-wisudawati yang saling bersenda gurau dan bercerita tentang kesuksesan mereka masing-masing. Gadis itu, tengah sibuk mencari, mencari dan mencari. Kali ini, ia takut akan kehilangan lagi keberadaan El yang selalu tiba-tiba menghilang. Tanpa pamit.
“El...! El...! El...!” panggilnya sambil berseru. Namun tetap, sosok El sangat jauh dari gerombolan para wisudawan itu. Ke mana perginya? Gadis itu takut jika ia akan kehilangan lagi.
*
[pada setiap sebab, pilihan akan terasa sulit..]
Lelaki itu mengambil selembar kertas brosur dari dalam tasnya yang bercampur dengan sertifikat dan ijazah kelulusannya. Ia duduk di bawah pohon beringin tua, sengaja untuk menyendiri dan tidak berkumpul dengan teman-temannya yang lain hanya untuk memikirkan tentang sesuatu.
Sesuatu yang menjadikan masa depannya. Saat ayahnya begitu mengharapkan El untuk menjadi seorang perwira angkatan laut, dan itu pula mengharuskan ia untuk menempuh pendidikan lagi selama setahun di kota Magelang. Sebenarnya, ia sangat mau. Karena keinginan tersebut sudah diinginkannya sejak dulu. Akan tetapi, ada satu hal yang membuatnya tak dapat memilih keputusan ayahnya.
Gadis itu, Andini. Yang tengah sekarat menanti datangnya ajal menjemput. Bagaimana bisa ia meninggalkannya dalam kondisi terbaring sakit dan membutuhkan dukungan untuk harapan hidupnya? Apa yang harus ia katakan pada ayahnya bahwa ia menunda untuk mendaftar mengikuti pendidikan beberapa tahun lagi. Dan apakah ayahnya bisa menerima, bahwa karena seorang perempuan ia mengurungkan niat untuk meraih masa depannya.
Sebuah pilihan yang sulit.
Perasaannya yang kian lama makin mencintai Andini dengan sepenuh hati. Yang dapat menariknya dari lembah dosa, dan keabsurdan. Bagaimana mungkin El sanggup untuk meninggalkannya?