Satu tahun kemudian
Tak sesuai prediksi bahwa usia Andini hanya sampai beberapa bulan saja, ternyata Andinii mampu melewati bulan-bulan terberat dengan penyakit leukimianya. Andini dapat melewati masa-masa kritisnya di rumah sakit. Meski rambutnya harus botak dan mengenakan wig, Andini cukup kuat melawan penyakit yang dideritanya. Semangat hidup yang sangat besar dan juga rasa cinta yang menumbuhkan harapan membuatnya bangkit dari keterpurukan. Adalah El, yang menjadi semangat hidupnya. Di mana El sedang menjalani masa pelatihan TNI AL selama beberapa waktu ke depan.
Di rumah sakit, Andini menjalani perawatan jalan dan juga kemoterapi. Waktunya habis untuk berobat dan terapi. Di sana, ia sering menuliskan puisi-puisi indah menjadi satu buku. Dan buku itu rencananya akan ia berikan untuk El selepas kepulangannya dari Papua. Perasaan cintanya pada El membangkitkan semangat hidup dengan penantian demi penantian. Ia yakin kalau El akan menerima cintanya. Andini duduk di sisi jendela dan mulai melukis dengan cat minyak. Andini mulai menggoreskan kuas dengan melukis seraut wajah El yang sedang mengenakan baju tentara angkatan laut. Seragam seorang sailor seperti tokoh kartun popeye berwarna putih.
“El. Kau sangat tampan mengenakan baju sailor itu, kau tampak gagah dan berwibawa.” Ucapnya sambil menyunggingkan senyumnya yang lebar.
TOK... TOK ...
Terdengar suara pintu diketuk. Andini menoleh kea rah pintu dan melihat sosok ibundanya tengah berdiri di sisi pintu yang terbuka.
“Ibu,”
”Kau sedang apa Andini?”
“Melukis, Bu,” Andini kembali terfokus pada kanvas dan cat-cat minyaknya.
“Melukis apa?” sang ibunda melangkah masuk ke dalam kamar Andini.
“El,”
“Wah, bagus sekali Andini. Kau hebat sayang,”
“Bu, apa El mencintaiku?” Andini kembali pada keraguannya.
“Tentu saja, Nak. Dia memang mencintaimu,”
“Tapi, kenapa dia pergi, Bu?”
“Terkadang, memprioritaskan cita-cita itu lebih tinggi daripada sekadar cinta saying. Cita-cita untuk masa depannya lebih diutamakannya dan itu bagus, Nak. Karena jika sudah selesai bertugas dia akan mencarimu.” Wanita tua itu mengelus pipi Andini dengan tangan kanannya.
“Apa betul dia akan mencariku, Bu?” Andini menggoreskan kuas yang sudah dicampuri cat minyak berwarna putih untuk baju seragam El.
“Firasat ibu begitu, Andini. Dia akan mencarimu saat suatu hari kau akan bertemu dengannya. Dia akan menjawab cintamu,” tukas sang ibunda memeluk Andini.
“Tapi jika tidak, aku juga sudah siap kok, Bu,”
“Jangan berpikir yang tidak-tidak dulu, Andini. Itu tidak baik,” wanita tua itu membelai kepala Andini yang mana rambutnya sudah botak.
“Ibu, aku juga sudah tidak lagi berhalusinasi. Apa aku juga sudah sembuh, Bu?” tanya Andini sambil mengambil sebuah cermin kecil di atas meja.
“Apapun akan hilang jika ada cinta dari semua orang, Andini. Kau jangan lagi merasa sendirian dan sedih. Satu kata lagi, itu tidak baik untuk kesehatan mentalmu.” Tandas wanita itu kembali mengulang kata-katanya.
“itu benar, Bu. Bahwa selama ini aku sudah salah memperlakukan diriku sendiri. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi saat itu selain bermain dengan cermin ini.” Andini menutup kaca cermin itu.
“Sudahlah, apa kau sudah makan?” tawar sang ibunda padanya.
“Belum, Bu.”
“Ayo makan dulu. Biar perutmu tidak sakit, kalau terlambat makan, nanti asam lambungmu bisa naik.”
“Lauknya apa, Bu?”
“Kesukaanmu, sup ayam dan telur dadar.”
“Wah, mau, Bu ...”
“Ayo!” wanita tua itu menggiring Andini untuk keluar dari dalam kamarnya menuju ruang makan dan menyantap hidangan kesukaan Andini siang hari itu.
*
Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya
Sosok El berdri di depan pintu gerbang Pelabuhan pagi hari itu. Kedatangannya dari Papua menuju ke Surabaya menggunakan kapal besar. Tampak El didampingi teman-temannya yang baru saja keluar dari dalam kapal menyambut tanah tercintanya. Semua tengah mencari anggota keluarganya masing-masing yang menunggu di area penjemputan. Setahun sudah lamanya tidak bertemu dengan keluarganya, El menjadi sangat rindu. Rindu pada masakan ibunya dan senyum sang ayah yang melukiskan kebanggaan pada diri El.
“El, sini! Ibu di sini, Nak!” teriak ibunda El seraya melambai-lambaikan tangan ke arahnya.
El menatap seraut wajah seorang wanita yang dikenalnya, tengah mengenakan baju batik berwarna coklat.
“Ibu! Ibu!” El berlari menghampiri wanita itu dan memeluknya erat. “El kangen banget!” tukas El sumringah.
Pipi El dikecupnya dua kali, berikut disambut oleh sang ayah yang ada di belakang ibundanya.
“El, akhirnya kau pulang, Nak,” sahut sang ayah. Kami semua sudah lama menanti kepulanganmu tapi ... badanmu kok tambah kurus El, pipimu sangat tirus.” Sambung ayahnya.
“El di sana banyak kegiatan yang menguras tenaga El, Ayah.” El meletakkan tas ranselnya ke bawah “El, di sana El kurang suka makanannya. El rindu masakan ibu.”
“Ayo kita pulang, Ibu sudah memasakkan masakan kesukaanmu. Kau pasti suka.” Ucap sang ibunda sambil menepuk pundak El.
Ketiganya pun berjalan meninggalkan pelabuhan dan naik ke dalam mobil. Meninggalkan pelabuhan menuju ke rumah mereka. El menatap langit di siang hari, di dalam mobil dia kembali teringat dengan Andini. Ia ingin tahu bagaimana keadaan Andini saat ini, apakah dia tahu kalau dirinya sudah pulang ke kampong halaman. Terbayang-bayang raut wajah Andini, El melamun kosong sambil mendengarkan musik. Di mana ayah El tengah menyetel lagu kenangan.
*
Di dalam kamar El, El tengah beristirahat karena sudah terlalu lelah selama perjalanan pulang naik kapal. Ia duduk bersandar ke dipan kasurnya dan di tangannya membawa ponsel. Ia ingin menghubungi teman-teman lamannya dan bertemu kembali. Namun, entah yang ada di dalam pikirannnya hanya nama Andini selalu. Apakah ia akan menemui Andini terlebih dulu ketimbang teman-temannya? Piker El galau.
Tiba-tiba tanpa diduga sebelumnya, ada telpon dari seseorang bernama Andini. Dia menghubungi ponsel El dan terkejut saat itu.
“El, apa kabar?”
“Andini? Barusan aja aku mau menghubungimu, tapi kamu duluan telpon.” Jawab El bangkit dari atas kasur.