Lingkupmu tak mudah untuk aku temui. Sosokmu kembali menampakkannya, meleburkan kisah-kisah yang telah lalu. Juliku tak suka lautan Banda Neira. Lagunya sudah aku ganti menjadi Hindia. Aku kembali menyukai kopi serta imajinasiku selalu menempatkan sosokmu di tahun lalu. Rembulanmu sudah aku ganti menjadi awan biru. Perbedaanmu sudah menjadi asing untukku. Kamu bumiku yang telah mati di lautan semestaku. Janji sendiri dan mengingkari janjimu sendiri.
Penuh, penuh, dan tumpah.
Sayup-sayup tak terdengar lagi suaramu di telingaku. Kabarmu telah menghilang seperti orang-orang yang tengah menaiki kapal Titanic. Dengan beraninya bayangan wajahmu menari-nari diisi kepalaku. Menampakkan senyuman maut yang membuatku ikut tersenyum pula. Kamu tertidur pulas di dalam mimpiku. Hingga suara dengkuranmu terdengar indah di ruang penyimpanan telingaku. Jauh, riang-riang, berteriak.
Kamu tak gembira, hanya saja pura-pura. Lanjutkan petualangan barumu dengan sosok yang baru. Nyatanya, aku akan tetap mengikuti jejak langkahmu. Dinding pertahananmu sudah menampakkan bau-bau kerobohan. Mulutmu tak lagi bicara. Kamu berlari sekencang angin, aku mengikutimu seperti air. Jenuh nan penuh pengoreksian. Sudah, berhenti saja di tengah jalan agar aku bisa menjemputmu.
Kamu membiarkanku untuk pura-pura jalan dengan langkah gontai.
Kamu lelah butuh istirahat, walaupun sejenak.
Pura-pura menghindar agar terus aku kejar? Aku kejar sampai ke ujung benua sekalipun. Kemudian, akhirnya kamu mengatakan, "bodoh, aku mati kamu mau ikut mati?" Lucu, bukan? Aku hanya tertawa ketika kamu bersungut seperti banteng betina bertanduk dua. Kamu marah sekali, tak apa, Amanda, aku akan tetap menyukaimu. Buliran air tak kembali ada, kekeringan melanda jalanmu hingga menoleh ke arah belakang. Melirikku yang pura-pura tidak melihatmu. Kamu merengek sendiri, meminta untuk menyudahi sampai di sini.
"Kelelahan, ya? Aku gendong, boleh?"