Djakarta, Oktober 2018
Pagi ini, manusia-manusia yang hendak memulai aktivitas barunya sudah terganggu karena adanya hujan yang turun tanpa aba-aba. Burung-burung yang awalnya ingin mencari sarapan, kembali pulang ke dalam sangkarnya. Aku tidak pernah mengira bahwa hari ini akan turun hujan. Padahal perkiraan cuaca yang tertera kalenderku telah menunjukkan bahwa langit di pagi ini akan sedikit berawan. Orang-orang yang terjebak hujan dan tidak membawa jas hujan sengaja menepi di depan halte. Aku pun ikut bergabung dengan mereka. Mengusap-usap jaketku yang sudah basah karena terkena rintik hujan.
Hari ini, ujian pertamaku di masa SMP. Tempat duduk para siswa sudah diatur agar berbeda kelas dan memberi peluang untuk bertukar sapa kepada adik kelasku. Sedangkan, aku belum menemui ruang ujianku karena kemarin aku tidak sempat membaca informasi dipapan sekolah. Hujan sudah sedikit mereda. Aku kembali mengendarai sepedaku agar tidak terlambat untuk mengikuti ujian.
Suasana di sekolahku sudah mulai ramai, parkiran sepeda untuk para siswa sudah mulai penuh, sesak, berdesakan, dan selalu berkolaborasi dengan suara peluit milik Pak Fajar yang setiap pagi mengatur ketertiban murid-muridnya. Aku meminta tolong kepada Anggia yang kebetulan sedang piket untuk memarkirkan sepeda miliku. “Gi, tolong parkirin sepeda gua ya? Gua lagi buru-buru banget nih.”
“Makannya kalau berangkat yang pagi!” omel Anggia.
“Tadi kejebak hujan Giaaa...”
Kemudian aku berlari untuk mencari ruang ujianku. Tepatnya ada di kelas 8E dengan nomor absensi sepuluh. Tempat duduk paling belakang dengan adik kelas yang bernama Nun, cowok berambut keriting yang mempunyai tahi lalat dipipi kanannya. Aku melihat seisi ruangan kelas dengan wajah baru dari adik-adik kelasku yang belum pernah kutemui semasa di SMP ini. Mataku tak berani kualihkan ke arah perempuan berkaca mata dengan bingkai kotak yang berwarna merah muda itu. Hidungnya yang kecil, matanya yang sedikit agak sipit, dan warna kulitnya yang putih sudah membuatku terdiam sedari tadi. Suara halus yang tengah berbicara kepada temannya membuatku terpesona. Lembut sekali.
Kita bertemu didetik itu.
Aku menarik rambutnya, “siapa nama lo?”
“Aku?” sambil menunjuk dirinya sendiri.
Namun, bel sekolah sudah berbunyi dan aku belum sempat mengenal nama perempuan cantik yang duduk di sebelah Anggia. Bu Tuti masuk dengan sapaan hangat untuk murid-muridnya. Pakaian yang beliau kenakan sangat senada dengan warna kerudungnya. Cara berkomunikasi yang beliau ucapkan sangat lembut sehingga mampu membuat para muridnya nyaman untuk mengerjakan ujian di pagi ini. Kertas ujian dibagi dari bangku paling depan.
“Gua lihat jawaban lo ya Gi?”
“Ogah!” seru Anggia yang duduk di depanku.
“Pelit lo,” ujarku sembari menarik kertas ujian dari tangan Anggia.
Aku memperhatikan perempuan berkaca mata itu yang sedang memberikan kertas ujiannya kepada Nun. Dengan wajah manisnya dia berkata, “semangat ujiannya ya, Nun.”