Perisai angkasa menghujam ulu hati yang mudah tercabik-cabik. Parahnya, penantian-penantian yang tidak mudah diberi apresiasi selalu diruntuhkan oleh kepala batu yang tidak bisa bersisa. Sejak kapan dunia mempunyai langit abu? Sejak kapan kota mati akan ditumbuhi pohon cemara kembali? Aku sudah punah dihancurkan oleh badai-badai yang tidak ingin mengalah. Lantas tujuanku jatuh cinta untuk apa?
Dengan kondisiku yang seperti ini. Aku tidak akan marah kepada sang pencipta. Hidup dengan kekuranganku, hidup dengan keluargaku yang utuh, namun disisi lain aku mempunyai hal yang tidak pernah kusyukuri. Aku kalah dengan rasa syukurku bahkan dengan aku yang tidak mempunyai apa-apa. Pikiranku selalu tertuju kepada, aku bisa diterima baik oleh manusia yang mempunyai segalanya tidak ya?
Hari ini ibu tidak memasak apa pun karena uang dari kerja keras bapak sudah digunakan untuk membayar uang ujianku yang belum kubayar sejak kemarin. Aku tidak pernah tahu perihal menjadi anak laki-laki pertama itu ternyata perlu mempunyai hati yang selalu luas. Bahkan perlu mengalah demi ada yang perlu dibahagiakan terlebih dahulu.
"Lana sekolah dulu ya bu," aku tidak bisa berbuat apa-apa ketika pagiku selalu melihat wajah ibu dengan tatapan kosong.
"Iya kak, hati-hati ya."
Pagi ini bapak sudah pergi untuk mengantarkan ketiga anak perempuannya menuju ke sekolah mereka masing-masing. Dengan situasi yang seperti ini aku tidak bisa berkata apa pun. Aku yang memiliki keluarga cemara selalu dikalahkan oleh keluarga berantakan tetapi mempunyai ekonomi yang berjalan dengan lancar. Aku pikir ini tindakan yang tidak adil, namun Tuhan selalu memberikan hal yang indah untuk mentalku, yang artinya dibalik ada kekurangan pasti ada kelebihan yang membuatku terus bahagia.
Hari ini termasuk hari ujianku yang kedua dengan mata pelajaran matematika dan IPA. Aku tidak pandai dibidang tersebut. Namun, aku akan belajar sedikit untuk hal ini. Kursi yang diduduki oleh Amanda sudah diisi oleh perempuan itu. Ia sedang fokus membaca buku catatannya sampai-sampai tidak tertarik ketika Ziva mengundang nama Amanda.
“Eh ada Kak Lana, apa kabar kak?”
“Baik Ziv, dia teman lo?” tanyaku kepada Ziva dan sedikit melirik ke arah Amanda.
“Iya, mau kenalan? Am ada yang mau kenalan sama lo tahu,” kata Ziva dan menarik buku milik Amanda.
“Ih apaan si Ziva,” jawab Amanda dan mengambil bukunya ditangan Ziva.
“Kagak perlu, gua bisa kenalan sendiri. Sana lo pergi, ganggu saja.”
“Gua mau pansos malah diusir. Kambing lo!” katanya sembari melemparkan bungkus permen karet ke arahku.
“Gua pergi dulu ya, Amanda. Semangat ujiannya!” katanya sembari lari keluar kelas.