Saat itu aku kembali dengan manusia pribumi yang tidak pernah diakui oleh sang semesta. Penduduknya yang tidak pernah menyapa, suaranya yang terdiam membisu, ia tak mampu mengucapkan kalimat kotor untuk memakinya. Demi bulan Juli yang semakin hari semakin tidak karuan untuk dihadapi, aku berani mengajaknya untuk bersenandung ria. Semangat baru dan kalimat haru menjadi paru-paru kehidupan untuk beberapa manusia yang hampir gagal. Jadi, jawabanku untuk menonton hari ini karena aku ingin merayakannya – bersama-sama dengan luka yang dideritanya.
Waktu yang pernah kita lewati telah membaur bersama pilu yang tak kunjung membisu. Keraguan yang penuh di dalam benaku tidak pernah berkata akan hal yang baru saja kita lewati. Bagaimana dunia akan menjadi milik kita? Untuk membahagiakan manusia yang ada di dalamnya pun perlu menimbang kata yang hampir terlupa. Mungkin suatu saat kita mampu mengobati luka yang tidak ingin mereda. Namun, untuk apa kita mengobatinya? Sebab aku tidak ingin melupakannya.
“Sal, suatu saat kau bahkan tidak pernah tahu dengan pradugaku kali ini bukan? Lantas kenapa kau ingin menemuiku?”
Dari bilik belakang Salma melirik ke arahku dan disusul oleh Bang Ambar. Aku menontonnya sembari memperhatikan gerak-gerik Salma yang enggan untuk didengar. Laki-laki berambut panjang dengan gaya ikalnya itu berusaha mencekal tangan Salma yang hampir keluar dari pintu kafe.
“Jika bukan tujuanmu untuk memperbaiki hubungan kita, kau tidak perlu repot untuk menemuiku di tempat ini Salma. Itu hanya akan membuatku tidak bisa berkonsentrasi. Maumu apa?”
“Bar, kamu saja enggak tahu keinginanku saat ini apa. Dengan jadwalmu yang super padat, nongkrong sama teman-teman, pulang larut malam tanpa mengabariku. Kamu pikir yang punya hubungan di sini hanya aku saja? Dari kemarin aku sengaja mendiamkanmu biar kamu sadar, tapi dugaanku salah ya? Kamu bahkan baik-baik saja tanpa kehadiranku. Kita putus saja Bar, aku capek ngejalanin hubungan ini sendirian.”
Aku hampir tersedak minuman soda karena mendengar perkataan Salma. Ia tanpa pikir panjang langsung memutuskan Bang Ambar dikala itu. Menyaksikan dua pasangan yang sedang diambang keputusasaan. Keras kepala, egois, maunya menang sendiri, telah kudeskripsikan kepada dua orang yang tengah berdiri di sampingku.
“Aku enggak mau kita putus Sal. Aku janji akan perbaiki kesalahan yang ada di aku,” wajahnya yang mulai panik segera meraih kedua tangannya. Bang Ambar memohon kepada Salma agar tidak pergi meninggalkannya.
“Enggak bisa Bar. Kita sudah sering untuk saling memperbaiki. Bukannya membaik, malah semakin enggak benar. Terima kasih ya, Bar.”
Setelah itu, Salma pergi meninggalkan Bang Ambar yang hanya terdiam. Ia membiarkan Salma pergi seorang diri tanpa dikejar, hingga aku mulai kesal dengan sikap Bang Ambar yang terlalu bodo amat.
“Kejar bang, jangan diam saja. Kesal gua,” ucapku.
“Percuma Lan. Lo enggak tahu keras kepalanya anak itu.”
Kita hanya terdiam dan saling bergulat dengan pikiran masing-masing. Malam itu aku tidak merasakan apa pun. Hatinya mati dengan perlakuan buruk yang datang berturut-turut. Sebaliknya dengan Bang Ambar. Laki-laki berusia dua puluh dua tahun dengan mata cokelatnya itu tidak berhenti untuk menelepon sang mantan. Ia memohon dengan diri sendiri untuk diangkat panggilan selulernya. Merutuki dirinya yang selama ini ia pikir Salma tidak keberatan dengan dunianya yang semakin hari semakin berisik.
“Pulang yuk. Takut dicariin ibu lo.”
Kita pulang dengan vespa bututnya. “Susah banget ya buat memahami perasaan perempuan.”
“Lo juga brengsek bang. Enggak ngabarin kalau bukan Salma yang ngabarin duluan. Perempuan bukan tipe yang mendahului bang, gengsinya gede.”
“Emang gua tolol.”