BUMI SEMESTA

Bernika Irnadianis Ifada
Chapter #9

Bab 8

Beberapa ilusi membawaku ke dunia tanpa peta. Berjejak oleh kaki manusia yang hampir mati. Nuansa baru yang dikepung oleh beberapa butiran bambu. Wajar jika semesta mengarungi samudera untuk diagungkan oleh manusia-manusia yang anti keramaian. Kita tak mampu untuk berdiri dengan satu kaki di mana berjalan dengan pincang salah satu solusinya.

Aku menatap pintu angkutan umum yang sama sekali tidak bisa bergerak. Tentunya memikirkan hal yang ada di benakku saat ini, seperti : duduk di sebelahmu, mendengarkan lagu Sheila on 7 secara bersama-sama, menyimpan kenangan ramai dengan hiruk pikuknya yang terjadi di setiap pagi.

Bagian yang kutemui saat ini hanya ditunjukkan untuk menulis cerita-ceritaku. Menayangkan segala isu yang sepertinya akan terjadi di hubungan kita. Melewatkan perdebatan panjang yang akhirnya akan dikalahkan oleh perasaan lelah. Kini, aku tidak ingin merasakan hal yang lara di hubungan kita.

Angkutan yang kunaiki di pagi ini sama sekali tidak ingin bergerak – walaupun sudah diberi pertimbangan kecil oleh supirnya. Akhirnya, kuputuskan untuk turun dan mencari angkot yang lebih baik dari ini. Tak jauh dari penglihatanku, Surya menepikan motornya dan mengangkat tangannya ke arahku yang berada di seberang jalan.

Kakiku masih kurang membaik, lantas dengan keberanianku – pagi ini aku menaiki angkot berwarna biru. Berjalan dengan kaki pincangku dan menghampiri Surya yang sudah duduk di atas motornya. “Gua tadi ke rumah lo monyet!”

“Gua lagi buru-buru Sur, niat naik angkot biar datang tepat waktu malah tambah kesiangan.”

“Ya lo enggak sabaran sih,” kemudian kita membelah jalanan kota yang sudah padat sekali.

Aku tak pernah mengira dengan kehidupanku yang sama sekali tidak setara. Anak-anak di bawah kolong jembatan tengah asyik memainkan batu kertas guntingnya, ibu-ibu yang tengah menjual tisu basah di pemberhentian lampu merah memasang wajah cerianya untuk menyambut di pagi hari, lintasan jalur olahraga hanya terisi dua manusia, lalu yang paling menakjubkan di jalanan kota yaitu melihat dua manusia berpasangan yang tengah menuntun istrinya untuk berjalan dengan kondisi matanya yang tidak bisa melihat.

Dunia yang fana dipenuhi berbagai manusia dengan kepala yang berbeda-beda. Membentuk perilaku jemawa dan sedikit arogan termasuk salah satu prestasi yang dibanggakan oleh penguasa tinggi yang menurutku sangat kerdil. Lucu sekali jika membayangkan tubuh kecil dan bengkaknya itu tengah berkoar-koar di pemukiman kami yang sangat miskin ketika dilihat oleh mata mereka. Perbedaan kasta yang tidak dipandang rupa semestinya bentuk toleransi yang sangat minim bagi manusia-manusia yang tidak kenal agama.

Motor yang kita naiki melewati beberapa gang kecil yang ada di pemukiman warga. Surya yang sepertinya sudah hafal dengan mereka tak segan untuk menyapa terlebih dahulu kepada beberapa warga yang tengah membeli sayuran ditukang sayur. Lalu motornya dititipkan di penitipan motor yang tak jauh dari SMP.

“Semalam gua enggak bisa tidur Lan, orang tua gua ribut lagi.”

Aku berusaha menyeimbangkan langkahku yang tidak sejajar oleh langkah Surya.

“Gua pikir masalah kemarin sudah selesai, ternyata bunda masih memperpanjang perdebatannya lagi dan itu buat ayah marah.”

“Perihal selingkuh yang dilakuin sama ayah lo sebenarnya sudah fatal banget Sur. Hal itu membuat ibu lo selalu ingat dan ngerasa sudah enggak pantas jadi seorang istri lagi,” jawabku.

“Ayah gua memang benar-benar brengsek ya Lan, ibu kurangnya di mana coba? Enggak habis pikir gua anjing.”

“Terpenting lo jangan ikutan brengsek juga Sur,” kataku.

“Idih, ogah gua.”

Lihat selengkapnya