Kenakalan remaja yang dialami olehku dan teman-temanku yaitu perkelahian antar sekolah karena perihal ketidaksukaan mereka dengan kelompokku.
Dengan kondisi muka yang sudah babak belur kita dikumpulkan menjadi satu diruangan kepala sekolah SMP Negeri 2. Hari ini selepas ujian pertamaku selesai, anak-anak dari SMP Negeri 1 mencegah akses jalan untuk kelompokku yang ada di pertigaan sekolah. Kini, kita sedang di sidang oleh kepala sekolah SMP Negeri 2 dan kepala sekolah SMP Negeri 1 untuk menyelesaikannya secara musyawarah.
Ada Keberadaan Nun yang menjadi saksi di perkelahian kami. Ia melihat kami yang sedang berkelahi karena pada saat itu Nun ada dibengkel sepeda yang tak jauh dari tempat kami. Artinya, Nun juga yang melaporkan kami ke kepala sekolah.
Nun menceritakan dengan detail dan teliti tanpa menambahkan unsur apa pun. Raut wajah Danu, siswa SMP Negeri 1 menatap benci ke arahku dan teman-temanku. Aku bahkan belum mengerti kenapa Danu melakukan hal ini kepada kelompokku. Namun, aku mengingat perkataan Danu sebelum perkelahian ini dimulai.
"Lo sedang bermasalah sama gua karena pertama, kelompok lo sok jagoan dihadapan Dewa yang notabenenya kembaran gua. Dan yang kedua, lo ada urusan apa sama Dea, hah?"
"Oh jadi lo yang jadi selingkuhannya Dea? Santai saja bro, kita sudah kelar dari satu tahun yang lalu," ucapku kemudian tertawa kecil.
"Brengsek lo!"
Bugh!!!
Perkelahian terjadi karena Danu tersulut emosi dengan perkataanku. Ia bahkan yang memulai semuanya dengan kondisi yang awalnya masih baik-baik saja malah berubah menjadi ricuh dan tak terkendalikan. Kelompokku dan kelompok Danu melakukan perkelahian yang sangat rusuh. Beberapa luka yang ada dipipi kami membuat penampilannya semakin tak karuan.
"Kalian sama-sama ada di kelas 3 SMP yang artinya sebentar lagi kalian akan lulus. Bukannya belajar yang giat malah berkelahi seperti ini. Mau jadi apa kalian ini, hah?" kata Pak Kamto kepala sekolah SMP Negeri 2.
"Kalau kalian masih anggap pendidikan itu tidak penting, apa kalian tidak malu sama orang-orang yang tidak bisa sekolah karena terbatas ekonomi?" imbuh Bu Tiwi selaku kepala sekolah SMP Negeri 1.
Kami hanya tertunduk menatap langit-langit ubin yang sedikit agak kotor karena terkena sepatu kami. Suasana genting, amarah, kaku telah menyelimuti ruangan yang dingin ini. Tak henti-hentinya aku merutuki diri sendiri yang tak tahu malu karena perkelahian ini. Merecoki isi kepalaku yang sangat keras bagaikan batu.
"Kami sudah tidak tahu harus memberi petuah seperti apalagi untuk kalian. Pada intinya bapak ingin kalian semua sukses dalam pendidikan dan juga moralnya. Rugi kalau kalian masih main-main sama pendidikan. Orang tua sudah mengeluarkan banyak uang hanya untuk membayar sekolah kalian. Tolong jangan mengecewakan mereka ya?"
Aku tertampar dengan kalimat Pak Kamto. Selama ini yang kubanggakan untuk keluarga masih belum ada. Aku tidak berprestasi, aku bukan anak pintar, dan aku masih banyak kurangnya. Hal itu membuat diriku memiliki perasaan rugi dan menyesal karena selama ini aku tidak berjuang keras untuk pendidikanku.
"Maaf pak. Setelah ini kami tidak akan mengulanginya lagi," ucapku.