Setelah pulang dari sekolah, kami menghampiri tukang bakso yang ada di depan SMA Jakarta. Bakso sapi milik Bang Baud yang menurutku sangat enak jika dilihat dari kedua mataku. Kami memesan tiga bakso kuah serta tiga es teh manis. Kedai ini memiliki ruang yang tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar. Bangunan tua yang mempunyai nuansa 90-an dibentuk secara unik dan menjadi tempat favorit untuk para remaja yang gemar berfoto-foto.
Rupanya Bang Baud salah satu manusia yang hidupnya tidak pernah menetap karena mempunyai rumah di Kota Yogyakarta. Beliau memiliki rambut botak yang ditutupi menggunakan topi berwarna merah maroon. Tutur katanya yang lembut menandakan bahwa beliau pedagang yang sangat ramah. "Silahkan dinikmati makanannya ya mas," katanya.
"Kenapa namanya Bakso Bang Baud?" tiba-tiba Yanuar bertanya hal yang sangat tidak masuk akal.
"Mas namanya siapa?" tanya Bang Baud kepada Yanuar.
"Nama saya Yanuar, Bang."
"Kalau namanya Bakso Bang Yanuar enggak cocok 'kan? Makannya saya kasih nama Bakso Bang Baud biar cocok."
Tanpa pikir panjang kami memakan baksonya yang diiringi oleh suara kendaraan yang sedang berlalu lalang. Aku menambahkan dua sendok sambal ke dalam mangkukku. Lagi-lagi netra mataku mengalihkan ke beberapa pandangan yang tidak sempat aku lihat. Dari banyaknya siswa-siswi yang sedang keluar melalui gerbang sekolah, mataku tak sengaja melihat gerobak sampah yang sedang didorong oleh anak laki-laki bertubuh kecil. Ia sedang mengambil beberapa sampah dan botol plastik untuk dimasukkan ke dalam gerobaknya.
Hal itu membuat perasaanku iba dan langsung mengambil dua lontong serta tiga gorengan tempe untuk dibagikan ke anak kecil itu. Di mana orang-orang yang memiliki kenikmatan hidup bersama orang tuanya, ada beberapa manusia yang tidak sempat untuk merasakan hal itu. Kemampuan-kemampuan yang tidak bisa dimiliki sekarang ada beberapa diantara mereka yang enggan berbaur untuk sekadar memahami perasaannya. Bahwa orang-orang yang tidak mempunyai kebersamaan memerlukan tempat serta ruang untuk dijadikan sebagai rumah peraduan.
Waktu tidak bisa untuk dilaju agar terhubung dengan Tuhan. Maka beberapa manusia yang tidak mempunyai rumah akan pulang ke tempat sepi tanpa diiringi doa untuk memohon kepada sang pencipta. Ia pikir hidup yang seperti inilah yang ia tuju. Tanpa mempunyai tujuan, tanpa adanya kasih sayang, dan tanpa adanya keadilan. Sehingga ia tidak ingin meminta kepada siapa pun karena ia pikir semua yang hidup di dunia ini tidak mempunyai hati untuk menolongnya.
"Halo adik, ini ada sedikit makanan buat adiknya, semoga saja cukup ya?"
Aku melihat matanya yang tidak mempunyai kebahagiaan. Di dalamnya terdapat ruang hampa serta ketakutan. Baju cokelatnya mempunyai bekas kotoran yang tidak sempat ia cuci. Muka dekil dari anak kecil itu dibiarkan kotor begitu saja.
"Aku enggak mau ngerepotin kakak."
"Kakak enggak ngerasa direpotkan sama kamu kok."
Dengan takut-takut anak kecil itu mengambil makanan yang ada di tanganku serta, "terima kasih banyak ya kak. Semoga rejeki kakak tambah lancar."
Banyak orang yang tidak tahu caranya untuk berterima kasih. Anak sekecil itu mengupayakan mencari uang demi membeli nasi dibandingkan mencari ilmu demi kedepannya. Ia bukan orang mampu untuk masuk ke areal sekolah. Bahkan untuk membeli nasi pun perlu melibatkan seluruh jiwanya agar bisa bekerja.
"Dari mana saja Lan?"