Aku melihat wanita tua yang tengah tergopoh-gopoh dengan jalannya. Ia menginjak beberapa genangan air hujan yang turun tadi malam. Suara rintihannya terdengar oleh telingaku, memanggil sang anak yang sudah terbujur kaku di jalan raya. Tangannya mencoba menepiskan beberapa manusia yang sedang mengerumuni suatu objek. Menangis tersedu-sedu, memeluk raganya yang sudah berlumuran darah, ia luruh begitu saja sembari menangisi kepergian perempuan muda yang telah mati itu. Kerumunan semakin bertambah menjadi lebar. Mereka menyaksikan dua orang dengan kondisi yang sangat berbeda. Suara sirine dari mobil ambulance semakin membuat wanita tua itu menangis hingga histeris.
"Indri anakku, jangan ambil anakku Tuhan," ia terus-menerus melantunkan kalimat yang sama. Mendekapnya tanpa adanya ruang kosong diantara mereka. Kehilangan seseorang yang amat disayangi memang tidak mudah untuk mengikhlaskannya. Hatinya yang sudah rapuh, hancur berkeping-keping, tidak mudah untuk diatur menjadi seperti semula lagi. Perlu waktu untuk melanjutkan hal baru agar tetap menjadi baik-baik saja.
Badannya sudah sedikit hancur dengan kondisi wajah yang mulai retak karena terlindas oleh ban truk dari arah yang berlawanan. Bekas darahnya ditutupi menggunakan kardus oleh para polisi. Para warga yang ada di dalam kerumunan itu mengambil beberapa foto atau video untuk dijadikan sebuah berita di media sosial. Aku meringis ngilu karena melihat hal yang tidak pernah aku lihat di jauh-jauh hari. Momen pertama dihari Jumat pada saat aku akan berangkat sekolah.
Jalanan Kota mulai macet total. Sebagian para polisi tengah mengatur lalu lintas di jalan raya. Wanita tua yang tengah tersedu-sedu karena melihat anaknya tergeletak tak bernyawa itu sudah diamankan oleh para polwan dan beliau mengikuti jenazah anaknya di mobil yang berbeda. Aku memikirkan beberapa nasib orang tua yang sudah ditinggal pergi oleh anak kesayangannya. Apakah semesta hanya menitipkan manusia untuk menyelesaikan tugasnya saja?
Sebisa mungkin aku mencoba menetralisirkan bayangan tragis yang masih tersimpan dibenak kepalaku. Membelokkan motor Astrea-ku ke dalam parkiran sekolah. Tragedi kecelakaan yang barusan terjadi telah menjadi topik yang paling hangat di sekolahku. Pasalnya, korban kecelakaan tersebut adalah siswi SMA Jakarta yang tengah menempati kelas 12 IPA 4. Teman-teman seangkatan yang mengenal kepada perempuan itu tidak berhenti untuk menangisi kepergiannya.
"Lan, lo sudah tahu kan?"
"Gua tahu dan gua liat pakai mata gua sendiri. Darah di mana-mana, badan remuk, dan wajahnya mulai retak karena terlindas oleh ban truk. Gila, gua kasian sama ibunya, Sur. Pasti hancur banget kan?"
"Baru saja gua mau kasih fotonya, eh sudah tahu duluan."
"Yanuar lagi di mana?"
"Lagi ikutan gosip sama mereka tuh," Surya menunjuk ke arah Yanuar yang berada di antara kelompok anak-anak perempuan.
Kelasku yang awalnya ramai, kini telah sunyi karena kedatangan wali kelas 10 IPS 5. Aku melirik jam dinding yang tertempel di atas papan tulis. Belum waktunya untuk memasuki jam pelajaran, namun suasana sekolah sudah mulai senyap. Speaker yang tertempel disudut ruangan dinding mengeluarkan suara nyaring dan disambung oleh suara Siswi SMA Jakarta yang tengah membacakan pengumuman penting. Kelas hening tak ada yang bersuara.