Namaku Erde. Aku lahir bersama kembaranku—Himmel. Ia adalah langit, luas, bercahaya, dan selalu dipandang. Sedangkan aku hanyalah bumi—diam, menampung segala beban yang jatuh ke permukaannya.
Sejak awal, takdir kami telah diguratkan: ia dicipta untuk bersinar, dan aku ditakdirkan menanggung bayangannya.
Dua menit.
Sesingkat itu jarak yang memisahkan kami, namun cukup untuk membuat dunia berpihak untuknya dan meninggalkan sisanya padaku.
Himmel adalah cahaya yang rapuh, disayang, dijaga, seakan tiap embus napasnya adalah anugerah yang harus disyukuri.
Sedangkan aku? Bumi yang dituntut kuat, terus mengalah, dan harus mengerti—bahkan saat tak ada yang coba mengerti aku.
Segalanya selalu tentang dia. “Kasihanilah Himmel. Pahami Himmel. Mengertilah, dia berbeda…”
Kalimat itu diulang begitu sering sampai menjadi gema yang mematikan suaraku sendiri.