Bumi Tanpa Langit

fotta
Chapter #2

BAB 1 - Langit dan Bumi (Bagian I)

🎵 “Happy birthday to you… Happy birthday to you…”

Lagu riang menggema di ruang keluarga Weiss, yang malam itu disulap menjadi pesta kecil. Balon-balon pastel menempel di dinding, pita sederhana menjuntai di sudut meja, dan di tengahnya berdiri kue tart stroberi berhias lilin angka 16 yang bergoyang lembut. Lampu ruangan diredupkan, menyisakan cahaya lilin yang menari seirama dengan riuh tepuk tangan.

Himmel berdiri di depan kue itu dengan senyum merekah. Rambutnya tersisir rapi, belahannya menampakkan wajah cerah tanpa penghalang. Sweater krem yang ia kenakan memberi kesan lembut—seolah membungkusnya dalam kehangatan. Ia melambai kepada kerabat yang hadir, sementara matanya berkilau penuh kehidupan—meski tubuhnya tak pernah benar-benar kuat.

Di sampingnya, Erde berdiri kaku. Rambut berponi panjang menutupi sebagian matanya, menciptakan tirai tipis antara dirinya dan dunia. Kaos oblong gelap yang ia kenakan kontras dengan keceriaan pesta, membuatnya tampak seperti bayangan yang menempel di sisi sang cahaya. Sekar, sang ibu sempat menoleh, menghela napas pelan, lalu berbisik lembut tapi tegas, “Erd, harusnya kamu pakai yang lebih rapi.”

Erde tak menjawab. Ia hanya menunduk, membiarkan poni jatuh menutupi wajahnya. Ada desir dingin yang merayap di dadanya. Setiap tahun selalu sama: senyum Himmel, tepuk tangan hangat, doa-doa yang tercurah—semua bukan untuknya. Ia hanya berdiri di sana, seperti aksesori yang kebetulan lahir di hari yang sama.

“Himm, ayo tiup lilinnya sekarang!” suara Julian—sang ayah, terdengar mantap, penuh sorak bangga.

Himmel menoleh ke samping dengan senyum yang tak pudar. Ia menepuk lengan kembarannya pelan.

“Ayo, Erd. Tiup bareng,” bisiknya, seperti tiap tahun.

Erde menghela napas, lalu mendekat setengah hati. Dua wajah kembar itu menatap lilin yang bergoyang, dua napas bertemu di udara.

Fuuuh—cahaya padam.

Ruangan mendadak gelap. Dada Erde kembali berdesir dingin, jantungnya berdegup lebih cepat, resah oleh hening yang tiba-tiba datang. Asap tipis dari lilin yang padam melayang pelan, membawa ingatannya jauh ke delapan tahun silam.

🥀🥀

Ruang keluarga itu masih asing, dindingnya baru dicat. Mereka baru pindah, agar lebih dekat dengan rumah sakit tempat Himmel mendapatkan perawatan. 

Di meja kecil berdiri kue sederhana dengan lilin angka delapan. Malam itu jadi perayaan dobel: ulang tahun, sekaligus hari pertama Himmel kembali ke rumah setelah dua minggu dirawat.

Nyanyian dan doa tercurah hanya untuk Himmel. Julian dan Sekar sibuk tersenyum, bersyukur anak sulungnya bisa berdiri lagi.

Erde kecil diam, menunggu namanya disebut. Tapi sia-sia.

Lihat selengkapnya