Bumi Tanpa Langit

fotta
Chapter #3

BAB 1 - Langit dan Bumi (Bagian II)

Pagi datang tanpa sapaan. Cahaya matahari menyelinap lewat celah tirai, mengguratkan garis hangat di lantai yang masih diselimuti sisa dingin malam.

Di atas meja, kalung dengan liontin setengah hati tergeletak—entah sejak kapan Erde memungutnya kembali dari lantai. Bekas dentingnya seolah masih menggantung di udara, seperti gema kecil dari malam yang enggan pergi. 

Dari bawah tangga, samar tercium aroma roti panggang, bersahut dengan suara jam dinding yang berdetak pelan. Sekar memanggil dari bawah, suaranya lembut—tapi tergesa.

“Erd, sarapan dulu. Nanti terlambat.”

Erde tak langsung menyahut. Ia duduk di tepi ranjang, menatap ke luar jendela. Cahaya pagi menerpa wajahnya, tapi sorot matanya buram—bukan karena kantuk, melainkan lelah yang belum sempat reda.

Suara Sekar kembali terdengar, kali ini sedikit lebih keras. Erde menarik napas pendek, lalu mengusap wajahnya dengan satu tangan seolah ingin menepis semuanya—panggilan, cahaya, dan hari yang baru. Beberapa detik ia hanya diam, membiarkan pagi berjalan tanpa dirinya. Lalu perlahan, ia berdiri, mengambil tas, dan melangkah keluar kamar.

Suara pintu berderit pelan disusul langkah kaki menuruni anak tangga parket yang hangat. Cahaya dari dapur memantul lembut di dinding lorong, menuntunnya keluar dari keheningan kamar.

Di meja makan, Himmel sudah duduk dengan seragam putih berbalut sweater rajut krem. Rambutnya terbelah rapi di tengah, membingkai wajahnya yang tenang dan cerah. 

Sambil mengoleskan selai cokelat ke roti panggang, ia sesekali melirik ke arah tangga—menanti sosok yang akhirnya muncul tanpa suara.

Begitu melihat kembarannya lewat, senyum kecil mengembang di wajah Himmel, hangat dan tulus. Namun, udara di sekeliling meja terasa dingin—seolah senyum itu berhenti di udara sebelum sempat mencapai Erde.

“Erd, gak sarapan dulu? Gue buatin roti bakar cokelat kesukaan lo, nih.”

Nada suaranya tulus, tetapi di telinga Erde, terdengar seperti gema yang memantul di ruang kosong bernama rumah. 

Erde hanya melirik sekilas tanpa menjawab. Ia mengeluarkan sebatang lolipop dari saku jaket, membuka bungkusnya dengan gerakan cepat, lalu memasukkannya ke mulut—membiarkan batang permen bergoyang di bibirnya, menciptakan kontras getir dengan aroma roti panggang yang memenuhi ruangan.

Sekar yang berdiri di dekat meja dapur hanya bisa menghela napas pelan.

“Erd, kamu gak sarapan lagi? Jangan cuma makan yang manis-manis terus.”

Erde menurunkan lolipop dari mulutnya, menggenggam batang permen itu di antara jarinya. 

“Gak laper, Mam,” ujarnya tanpa menoleh—suaranya datar, dingin, seolah enggan menyisakan ruang untuk percakapan.

Ia kemudian berjalan melewati meja makan menuju pintu depan. Sekar menatap punggung anaknya yang menjauh sambil menggeleng pelan.

Di tengah langkahnya, Julian muncul dari arah ruang tamu, jas kerja tersampir di satu tangan.

Mereka berpapasan di lorong sempit antara ruang makan dan pintu utama. Tatapan keduanya bersinggungan sekejap—dingin, datar, seolah ada dinding tak kasat mata di antara mereka.

Julian menyesuaikan tali jam di pergelangan tangan, gerakannya tampak tenang, meski ada ketegangan samar di ujung jarinya.

Erde menunduk sedikit. Lolipop masih tergenggam di jarinya.

“Aku berangkat,” ujarnya datar, tanpa menoleh.

Lihat selengkapnya