Bumi Tanpa Langit

fotta
Chapter #4

BAB 2 - Hujan yang Tak Pernah Reda (Bagian I)

Langit siang di SMA Harapan Bangsa tampak sendu. Awan tebal menggantung di atas atap sekolah, menelan biru yang biasanya cerah. Angin membawa aroma tanah basah yang samar—seperti kenangan yang perlahan ingin kembali. 

Jam dinding menunjukkan pukul sebelas. Bel istirahat baru saja berbunyi. Koridor seketika ramai—kursi berderit, suara langkah berlarian, dan tawa bertumpuk jadi satu. Beberapa siswa langsung menyerbu kantin, sisanya masih bercanda sambil bersandar di dinding. Udara terasa lembap, bau tanah basah mulai merayap dari luar jendela—pertanda sebentar lagi hujan turun. 

Di tengah keramaian itu, Himmel baru saja berdiri dari kursinya ketika seseorang menepuk bahunya.

“Himm, kantin, yuk. Katanya mau traktir?” seru salah satu dari mereka sambil mendorong punggungnya ke depan.

Himmel tertawa kecil, suaranya lembut dan menenangkan.

“Iya, iya, sabar. Baru juga berdiri,” ucapnya sambil tersenyum lebar. Langkahnya mengikuti teman-temannya, tapi ritmenya tetap tenang—berbeda dari riuh lorong yang penuh tawa dan teriakan.

Dari bangku di barisan belakang, Erde hanya melirik sekilas ke arah Himmel yang digiring teman-temannya ke luar kelas. Tatapannya datar, nyaris tanpa emosi, sebelum kembali jatuh ke luar jendela—ke langit yang semakin gelap di balik awan.

Begitu kerumunan teman-teman Himmel menghilang, Erde bangkit perlahan. Ia merapatkan jaket, membuka lolipop baru dan menempelkannya di bibir—ritual kecil yang selalu menemaninya.

Koridor mulai lengang. Udara lembap masuk melalui jendela, membawa aroma basah dan dingin yang asing. Erde menarik napas pelan, bahunya sedikit merunduk, tangan kirinya masuk ke saku jaket saat ia melangkah perlahan, menyesuaikan diri dengan kesunyian yang menyelimuti lorong.

Lapangan basket indoor berada di ujung selatan sekolah—tempat yang jarang dilewati siswa saat jam istirahat. Begitu pintu geser terbuka, hawa lembap langsung menyambutnya. Lampu di langit-langit menyala setengah redup, memantul di lantai kayu yang licin.

Di tengah ruangan, bola basket tergeletak sendirian. Erde berjalan mendekat, jemarinya menyentuh permukaannya yang dingin sebelum menggenggamnya. Ia berdiri di garis tengah lapangan, menatap ke arah jendela besar di sisi timur. Di luar, hujan mulai turun—rintik pertama menetes, disusul deras yang jatuh berirama di kaca.

Untuk sesaat, dunia di luar sana lenyap.

Hanya ada suara hujan, dan napasnya sendiri yang berat tapi teratur.

Erde berdiri diam, menatap keluar jendela tinggi di sisi lapangan. Tetes air turun perlahan di kaca bening, membentuk garis-garis acak yang menyatu di bawah. Cahaya redup dari lampu atas memantulkan siluet tubuhnya di lantai, samar dan bergetar oleh bias air dari luar.

Ia menarik napas pelan. Ada sesuatu di matanya—rasa asing yang sulit dijelaskan.

Bukan sekadar sedih, tapi semacam ketakutan yang tertinggal dari masa lalu.

Dulu, hujan itu hal paling menyenangkan di dunia, pikirnya. Sampai suatu hari, satu tawa kecil berubah jadi sesuatu yang tak boleh diulang.

🥀🥀

Himmel kecil menarik tangan Erde, matanya berbinar. “Erd, ayo main hujan!” serunya penuh semangat.

Lihat selengkapnya