Bel pulang sudah berbunyi sejak beberapa menit lalu. Hujan deras membuat halaman sekolah lengang lebih cepat dari biasanya. Tak ada lagi suara riuh murid—semuanya lenyap, ditelan gemuruh air dan langit kelabu yang menggantung rendah di atas bangunan sekolah.
Erde berdiri di koridor dekat gerbang utama, menatap ujung genting yang terus menetes. Jaketnya lembap, rambutnya menempel di dahi.
Di depan, area parkir telah berubah menjadi genangan luas—ban motor yang tersisa setengah terendam air. Beberapa siswa masih berkerumun di dekat pos satpam, menunggu jemputan, atau sekadar reda yang tak kunjung datang.
Erde menghela napas. Jemarinya merogoh saku jaket, mengeluarkan lolipop terakhir. Ia membuka bungkusnya perlahan, menatap langit—memandang rintik yang jatuh seperti sesuatu yang jauh dan asing.
Keheningan itu hanya bertahan sebentar, sebelum langkah tergesa terdengar dari arah lorong—Riyo muncul dengan tas olahraga yang tersampir di bahu.
“Lo masih belum balik?!” serunya, setengah berteriak, menembus suara hujan.
Erde hanya menoleh sekilas, mengulum lolipopnya tanpa bicara.
Riyo menghampiri, lalu berdiri di sampingnya. “Kalau nunggu reda, bisa sampe malem, nih.”
“Biarin,” jawab Erde pelan. “Gue lagi males balik.”
Riyo menghela napas, menyipit sedikit seolah mencoba membaca isi kepalanya. “Emang ada masalah apaan lagi?”
Erde diam. Pandangannya menembus hujan, mengikuti riak yang pecah di genangan. Dari kejauhan, terdengar decit sepatu di lantai basah—beberapa murid terakhir bergegas pergi, meninggalkan koridor yang makin gelap.
Riyo akhirnya menyerah. “Ya udah, gue cabut duluan. Jangan kelamaan di sini, entar lo masuk angin.”
Erde hanya mengangkat bahu tanpa menoleh. Riyo menepuk pundaknya singkat sebelum berlari menembus hujan. Begitu langkah itu hilang, kesunyian datang seperti gelombang. Suara hujan terdengar lebih berat, menimpa atap dan memantul di genangan aspal yang berkilau pucat. Udara dingin menyusup lewat sela jaketnya, membuat kulitnya merinding.
Perlahan, Erde melangkah mundur, dan membiarkan tubuhnya jatuh di bangku panjang dekat tembok. Lolipop di tangannya berputar tanpa arah, sementara matanya kosong menatap hujan yang turun tanpa akhir—seperti pikirannya yang tak kunjung tenang.
Beberapa detik berlalu dalam diam. Napasnya terdengar makin berat. Perutnya perih—entah karena belum makan sejak pagi, atau karena udara lembap yang menusuk kulit. Ia menarik napas dalam, tapi hawa dingin yang masuk justru membuat dadanya terasa sesak.
Udara di sekitarnya makin menusuk. Batang lolipopnya nyaris bengkok saat jemarinya mengepal di pangkuan. Rasa gatal mulai merayap dari pergelangan tangan hingga leher—sensasi yang selalu datang tanpa peringatan.
Namun Erde tetap diam, seolah menantang tubuhnya sendiri untuk bertahan.
Angin dari arah parkiran membawa aroma tanah basah dan daun yang terhempas. Ia memejamkan mata, membiarkan embusan itu menyapu wajahnya. Napasnya berat, tidak beraturan, sementara hujan terus jatuh tanpa henti.
Di antara riuh rintik hujan, sebuah suara muncul, memecah hening.
“Erd, kok belum pulang? Nungguin gue, ya?”
Erde menoleh. Himmel berdiri di bawah payung lipat, membawa seberkas hangat di udara yang membeku. Sweaternya sedikit lembap, senyumannya tipis—cukup untuk memecah dingin di antara mereka.
“Lo sendiri ngapain belum balik? Nanti kalau kambuh, gue lagi yang disalahin,” ujar Erde ketus, tanpa menatap. “Pulang sana.”
“Iya, iya. Tadi baru selesai latihan di klub musik.” Suara Himmel lembut, tapi ada nada cemas di ujungnya. Ia melangkah mendekat, berhenti di hadapan kembarannya.
Erde tak menanggapi. Tatapannya kosong, mengikuti aliran air hujan yang menuruni pagar besi.
“Erd,” panggil Himmel pelan. Suaranya merendah tapi tetap terdengar tegas. “Kenapa lo bolos lagi? Kalau emang capek, mending pulang. Jangan nyiksa diri di sini.”
Erde mengangkat wajahnya perlahan. Tatapan mereka bertemu di bawah cahaya pucat sore yang hampir padam, diiringi suara hujan yang menimpa atap genting.