Pagi itu udara terasa lebih hangat dari biasanya. Embun masih menempel di kaca helm ketika Erde memutar gas perlahan. Jalanan basah sisa hujan semalam memantulkan cahaya matahari yang lembut, sementara angin menelusup lewat sela jaketnya yang selalu tertutup rapat.
Tubuhnya belum benar-benar pulih, tapi ia tak peduli. Ia sudah terlalu muak pada keheningan rumah—suara piring yang beradu pelan, langkah kaki yang terasa asing, dan udara yang membeku tanpa percakapan.
Jadi pagi itu, ia hanya ingin pergi. Menjauh sejenak dari tempat yang terlalu sunyi untuk disebut rumah.
❖❖❖
Di kelas, cahaya matahari menyelinap lewat jendela, membentuk pola di meja-meja kayu yang berderet rapi. Suasana sudah ramai ketika Erde datang, beberapa kepala menoleh sekilas, lalu kembali pada buku dan percakapan masing-masing.
Himmel sudah duduk di tempatnya. Seragamnya rapi, rambutnya tertata, senyum kecil tersungging setiap kali seseorang lewat di depannya. Beberapa siswi datang menyapa—menanyakan PR, atau sekadar mencari alasan untuk berbicara dengannya.
Di antara riuh kecil itu, Erde melangkah masuk. Ia lewat di depan Himmel tanpa suara, hanya bayangannya yang melintas di lantai, terpecah oleh cahaya pagi yang masuk dari jendela. Tak ada sapaan. Tak ada tatapan. Hanya jarak yang terlalu sunyi, untuk disebut saudara.
Erde duduk di bangkunya, meletakan tas di atas meja, lalu menatap keluar jendela. Langit tampak terlalu cerah untuk pagi yang terasa sepekat ini. Semilir angin masuk perlahan, mengibaskan ujung rambutnya, sementara langkah-langkah siswa lain perlahan mereda, menyisakan ruang kelas yang tenang, nyaris hampa.
Tak lama kemudian, bel berbunyi. Suaranya menggema singkat, membangunkan suasana yang sempat diam. Beberapa siswa buru-buru menutup percakapan, kursi bergeser, dan suara langkah mendekat dari arah pintu. Guru Matematika masuk, membawa setumpuk kertas hasil ulangan minggu lalu. Suara lembaran itu terdengar keras ketika diletakkan di meja depan—suara yang selalu membuat sebagian siswa menahan napas.
“Nilai kalian banyak yang turun,” ucapnya datar, “terutama bagi yang duduk di belakang.”
Beberapa siswa terkekeh gugup. Erde hanya menatap kosong ke arah papan tulis. Satu per satu kertas dibagikan. Saat gilirannya tiba, ia menerima lembar miliknya tanpa ekspresi.
Di pojok kanan atas, angka merah itu menyala terang: 42.
Ia memandangi lama. Setiap soal di kertas itu terasa familiar—terlalu mudah untuk disebut gagal. Tapi kali ini, ia memang memilih untuk salah. Mungkin dengan begitu, seseorang di rumah akhirnya akan memperhatikannya.
Di bangku depan, Himmel menerima lembar ulangannya dengan senyum tenang. Angka 98 melingkar rapi di sudut kertas. Guru sempat menepuk pundaknya, disambut sorak kecil dari beberapa teman.
“Kayak biasa, kembar satu ini gak pernah gagal,” canda seseorang, membuat tawa ringan pecah di sekitar mereka.
Erde menunduk, jemarinya mencengkeram lembar ulangan di tangannya. Ia tahu persis apa yang akan terjadi nanti—guru akan memanggilnya untuk bimbingan tambahan, lalu catatan nilainya dikirim ke rumah. Ibunya pasti akan membacanya. Dan setidaknya, kali ini ia akan menatapnya … meski mungkin dengan tatapan kecewa.
Senyum tipis terbit di sudut bibirnya. Bukan tanda bangga, bukan pula penyesalan.
Lebih seperti seseorang yang sudah hafal rasanya terluka, tapi tetap menunggu—hanya karena ingin sekali saja diperhatikan.
❖❖❖
Bel istirahat berbunyi, memecah keheningan kelas. Dalam sekejap, Himmel sudah dikelilingi teman-temannya, tawa dan percakapan ringan memenuhi udara. Sementara itu, Erde tetap duduk di bangkunya, membiarkan waktu berlalu hingga kerumunan itu perlahan menyingkir. Baru kemudian ia berdiri, melangkah keluar tanpa suara.
Koridor dipenuhi langkah kaki dan aroma bekal makan siang. Erde berjalan tanpa tujuan pasti, menuruni tangga dengan tempo lambat.
Langkahnya berhenti di depan jendela besar yang menghadap ke halaman belakang—dari sana, atap lapangan basket tampak berkilau, memantulkan cahaya matahari yang jatuh miring dari langit.
Beberapa menit kemudian, Erde mendorong pintu lapangan dan melangkah masuk. Udara lembap menyambutnya, tenang dan jauh dari kebisingan sekolah. Ia menunduk, mengambil bola yang tergeletak di sisi ring, lalu memantulkannya pelan ke lantai. Suaranya menggema, bergaung di ruang kosong—ritmenya lembut, seperti detak jam.
Tak ada guru, tak ada teman, tak ada siapa pun yang menuntut. Hanya dirinya dan suara yang membuat dunia terasa sedikit lebih hidup.
Di tempat itu, Erde tak sedang bersembunyi. Ia hanya beristirahat sejenak dari dunia yang terlalu ramai untuk seseorang yang selalu merasa sendiri.