Bumi Tanpa Langit

fotta
Chapter #7

BAB 3 - Dalam Bayang yang Sama (Bagian II)

Langit sore mulai berwarna jingga ketika Lyra melangkah keluar dari kelas. Lorong sekolah nyaris kosong, hanya terdengar gema langkah dan teriakan samar dari arah lapangan yang memantul di dinding. 

Saat melewati ruang klub olahraga, pandangannya menangkap seseorang keluar—cowok berjaket abu tua, membawa tas di satu bahu. Wajahnya teduh tapi dingin, matanya nyaris tak menoleh ke sekitar.

Lyra langsung mengenalinya. Erde. Tanpa pikir panjang, ia menghampiri.

“Kak Erde, ya?” sapanya ceria, tangannya terulur penuh percaya diri. “Kenalin, Lyra. Kelas sepuluh dua.”

Erde hanya menoleh sekilas, tatapannya datar. Tak ada reaksi, apalagi senyum.

Merasa diabaikan, Lyra mendengus kecil, lalu dengan santai menarik tangan cowok itu dan menjabatnya sendiri.

“Salam kenal, ya,” ujarnya sambil tersenyum lebar—sedikit canggung, tapi tulus.

Erde spontan menarik tangannya, agak kasar, membuat Lyra terhuyung satu langkah ke belakang. Keningnya mengernyit, tatapannya datar,  nyaris tak berkedip.

Dalam hening yang kikuk itu, Lyra buru-buru merogoh sakunya, mengeluarkan sebungkus permen karet, dan menawarkannya dengan senyum canggung. 

“Mau permen karet?”

“Gak.” Suara Erde datar tapi ketus. Wajahnya mulai kesal. “Siapa, sih, lo? Sok akrab banget.”

Erde langsung berbalik, langkahnya panjang dan nyaris tanpa suara. Tangannya terulur ke saku, mengeluarkan lolipop, lalu membuka bungkusnya dengan gerakan malas. Suara plastik berdesir pelan sebelum permen itu menyentuh bibirnya. Ia melangkah pergi tanpa menoleh—meninggalkan udara dingin dan rasa ingin tahu yang belum sempat reda.

Lyra terdiam sejenak, masih memegang permen yang gagal ia tawarkan. Tatapannya mengikuti punggung Erde yang makin menjauh, lalu sebuah decakan kecil lolos dari bibirnya.

“Jutek banget, ih… tapi biasanya yang kayak gitu malah bikin rindu,” gumamnya pelan, senyum kecil menyelinap di sudut bibirnya.

Tak jauh dari sana, di balik tiang tangga, Clara yang tak sengaja lewat, memperhatikan mereka. Wajahnya menegang sesaat, matanya menyipit—belum tahu siapa gadis yang barusan berani menghampiri Erde Weiss, tapi instingnya berkata, gadis itu akan jadi masalah.

❖❖❖

Esok harinya, koridor utama sekolah dipenuhi riuh langkah dan tawa siswi. Di ujung lorong, papan pengumuman tampak sesak oleh kerumunan. Kertas berwarna merah muda menonjol di tengah papan cokelat tua itu, menarik perhatian siapa pun yang lewat.

Lyra berdiri di depan papan pengumuman, mengunyah permen karet sambil memiringkan kepala. Tubuhnya sedikit condong ke depan, matanya menyusuri baris huruf tebal yang terpampang rapi di tengah:

Open Recruitment Cheer Squad Semester Ini! 

Ayo bergabung dengan tim terfavorit sekolah!

Tak lama, Krista muncul dari arah tangga, menenteng dua kotak susu cokelat. Ia menyerahkan satu pada Lyra sambil menaikkan alis.

“Jangan bilang lo kepikiran buat daftar,” katanya. “Lo aja lebih sering pake celana training daripada rok, Ra.”

Lyra menyeringai, mencomot sedotan temannya tanpa izin. “Kenapa enggak? Gue butuh alasan buat nongkrong di lapangan. Siapa tau bisa sekalian liat si ‘Bumi’ latihan.”

Lihat selengkapnya