Bumi Tuhan

Rosalita
Chapter #2

1 ~ Choice

Jika ini tentang harga diri,

maka kalian akan mati dan habis.

Secara perlahan-lahan...

...

07 Maret 2014 

Israel

Aku lagi-lagi tersengal, mengatur napas barang sedetik kemudian kembali berjalan cepat. Tak peduli semua orang memandangku aneh, bahkan yang menyapa pun tak aku tanggapi sama sekali. Tidak! Ini bahkan lebih penting dari perang dunia ketiga sekalipun.

Tap!

Baiklah, ada yang lebih penting dari semua yang lebih penting antara dosen gila atau perang dunia ketiga. Karena sekarang, langkahku terhenti tepat di depan sebuah televisi yang menampilkan berita yang akhir-akhir ini cukup menarik perhatianku.

"... Aksi Great Return of March kembali terjadi. Rakyat Palestina di Gaza kembali melakukan perlawanan sia-sia. Tentara perbatasan kembali mengambil tindak lanjut akan hal ini. Pemerintah mengerahkan sepuluh tank tempur juga hampir dua ratus tentara yang masuk ke perbatasan. Hal ini mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dari pihak Israel--"

"Manusia-manusia itu, masih enggan menyerah juga. Merepotkan," gumamku refleks, tertuju pada visualisasi di layar datar yang menunjukkan orang-orang Palestina yang masih tetap keras kepala untuk mempertahakan daerah Gaza. Terus-menerus melawan padahal mereka tidak ada amunisi bahkan perlawanan yang cukup bagus - mereka hanya menggunakan ketapel atau batu untuk melawan tank dan shotgun! Oh, tidakkah itu tindakan percuma? Mereka hanya melakukan hal sia-sia.

"Sial!" umpatku tatkala menyadari aku sudah menghabiskan waktu empat menit hanya untuk menonton berita itu. Padahal ruang dosen menyebalkan itu ada tepat lima puluh meter di depan.

Ceklek!

"Kau terlambat dua menit empat puluh tiga detik Nona Frella Elijah Shadinar. Dan aku tidak mentoleransi keterlambatan dalam bentuk apapun karena seperti yang kau tahu, aku sangat-sangat sibuk."

"Dan kau dengan perkataanmu barusan telah menghabiskan tiga puluh detik Profesor Darren," aku tersenyum. Oh, ini dia yang aku maksudkan lebih penting dari perang dunia ketiga sekalipun tadi. Dosen pembimbing akademikku, sekaligus merangkap sebagai dosen mata kuliah psikiater dan kesehatan mental. Demi apapun, tugasnya selalu membunuh juga revisi yang dia berikan seakan tak akan pernah merujuk pada kata selesai. Dia selalu saja berhasil mencari kesalahan apapun itu dan dalam bentuk apapun pula, bahkan kesalahan huruf kapital sekalipun. Dan aku, yang kini menjawab ucapannya - lagi, karena aku selalu melakukannya, dan aku termasuk kategori mahasiswi menyebalkan baginya tentu saja - sudah bisa dipastikan akan membuatnya jengkel lantas mencari kesalahan-kesalahan pada tugas penelitian yang dia berikan.

Laki-laki paruh baya itu berdecih yang sangat kentara, lagi aku hanya menanggapi pada sebatas senyum simpul. Ia mulai membuka halaman demi halaman lembar penelitianku, dahinya berkerut, pun matanya terkadang menyipit, membesar, lantas menyipit lagi.

Sret.

Lihat selengkapnya