Bumi Wiyata

Nur Intan Dwi Purnama Hakim
Chapter #1

Prolog

Hidup adalah sebuah anugerah yang Tuhan berikan kepada manusia. Manusia bernafas, mengedip, berjalan dan berpikir itu semua adalah kehendak dari Tuhan. Lantas bagaimana dengan rasa sakit, apakah Tuhan juga yang menghendaki, apakah rasa sakit yang teramat ini berasal dari-Nya. Seorang pria paruh baya tengah berbaring di atas kasur, kulitnya yang sudah keriput dan tulang-tulang yang menonjol dibaliknya, daripada manusia dia terlihat seperti seonggok kerangka yang dilapisi kulit. Hiperpigmentasi akibat terlalu banyak melanin dalam kulitnya telah membuat bercak hitam dan kemerahan. Dia meringkuk menekuk lututnya memejamkan mata berusaha untuk terlelap dan berharap jika dia membuka mata nanti rasa sakitnya sudah hilang bersama dengan nyawanya.

           Suara  Walang Kerik yang hinggap di pepohonan menemani malam yang sepi, daun pohon salam di kebun belakang rumah meliuk-liuk tertiup angin, menari di udara mendengarkan nyanyian semesta. Dalam sunyinya, sesekali kendaraan roda dua melintas terdengar oleh gendang telinga yang sudah rapuh itu. Alam sudah tak lagi memberinya kejelasan dalam mendengar, namun suara yang tak asing ditelinganya, suara yang akan dia kenali meskipun bermil-mil jauh jaraknya. Merdunya mengalahkan nyanyian Paramitha Rusady lembut suaranya yang khas telah menemaninya hidup selama 44 tahun.

           “Pak, ayo bangun minum ini dulu, siapa tahu bisa meredakan sakitnya” suara lembut itu membangunkannya dengan sedikit guncangan halus pada lengan membuat dia menoleh. Seulas senyum tergambar di wajah wanita yang sama renta dengannya, namun berbeda wanita ini masih terlihat bugar meskipun keriput menghiasi pinggir mata dan tangannya. Yayat beranjak dari baringnya dan berusaha duduk, istrinya membantu menumpukkan bantal di belakang punggung supaya suaminya bisa bersandar dengan nyaman.

           Cairan pekat dari daun  Isah berikan kepada suaminya, berbekal ilmu herbal yang diberi tahu tetangga dia berharap air rebusan daun sirsak akan membantu meredakan sakit suaminya, meskipun hanya meredam sakit bukan berarti benar-benar menyembuhkan dan untuk membantunya hidup barang sehari. Yayat meraih gelas yang disodorkan istrinya, dengan tangannya yang lemah dan bergetar ia memegang gelas.

           “Bismillah Pak!” tutur Isah.

           “Bismillah.” ucap Yayat mengikuti. Ia kemudian meneguk air itu sampai habis, berharap kandungan apa pun yang ada di dalam gelas akan memberikan efek tenang pada perutnya yang terasa sakit dan panas yang menjalar. Isah mengambil gelas yang sudah kosong dan memberinya air putih untuk menetralisir rasa pahit atau apa pun yang dirasa tidak nyaman oleh suaminya.

           “ Sudah, aku mau lanjut ke dapur bikin lontong sama adonan buat gorengan besok” Isah mengambil beberapa toples kue dari lemari dan menaruhnya di atas meja di samping kasur.

           “Ini kalo lapar, Bapak makan kue aja dulu jangan makan yang teksturnya keras takut nambah sakit perutnya.”

           “Aku bantuin potong sayuran ya, biar kamu ga kemaleman bikin adonannya.” Yayat menoleh kepada istrinya yang tengah sibuk menyiapkan makanan ringan.

           “ Ga usah, udah Bapak tidur aja istirahat. Nanti kalo perutnya sakit lagi kan repot.”

           “Engga, perutnya udah ga sakit ko, kan udah minum ramuan cinta dari kamu.” Usianya memang sudah renta, namun kemampuan bicaranya tidak pernah kalah dari anak muda. Inilah alasan mereka awet selama ini, keduanya tak pernah lepas dari kata cinta. Saling melengkapi dan mengisi kekosongan di hari tua.

           “Huss, aki-aki ini kalo dibilangin suka ngeyel. Udah istiraht aja, bikin adonannya juga sedikit ko ga bakalan lama.” Isah pergi menuju dapur dengan rona merah di pipinya. Meskipun sudah 44  tahun menikah, namun kata-kata manis dari suaminya tetap saja memuat kupu-kupu hinggap diperut, membuat hatinya berdebar tak karuan.

           Sudah 13 tahun mereka berjualan, membuka warung sederhana di depan rumah dengan menjajakan gorengan setiap pagi. Awal mulanya Isah hanya berjualan lotek dan karedok namun semakin berkembang usahanya maka dia memperluas jualannya dengan membuka warung sederhana yang diisi sembako dan jajanan. Setelah suaminya berhenti bekerja karena sudah tua dan penyakit yang menyerangnya, maka hanya dari warung inilah satu-satunya penghasilan mereka. Penghasilan yang setidaknya bisa membantu mereka menyambung hidup setiap harinya.

 

           Pagi hari Isah sudah disibukkan dengan membuka warung kecilnya. Menyingkab rolling dor dan membereskan rak-rak jajanan ke depan agar terlihat dari luar. Banyak anak-anak yang melintas setelah pulang sekolah dan menepi di warungnya untuk sekedar melepas penat dari lelahnya dunia belajar. Pagi-pagi buta Isah sudah menggoreng adonan yang sudah dibuatnya pada malam hari, ia menjajakan gorengan bakwan, keroket, tempe goreng, tahu isi, pisang goreng, dan combro. Pagi-pagi juga para pekerja pabrik membeli lontong dan gorengannya untuk mengganjal perut mereka agar tidak keroncongan saat di perjalanan menuju pabrik.

           Yayat masih terduduk di atas sajadah ia masih merapal ayat suci Al-Quran. Seperti biasa saat Isah tengah sibuk mempersiapkan warung, suaminya masih sibuk dengan kegiatannya beribadah, membaca Al-Quran, bersolawat atau bertasbih. Terkadang ia juga membantu melayani pelanggan ketika istrinya masih sibuk di dapur. Pembagian pekerjaan itu berlangsung begitu saja tanpa diskusi. Isah menggerutu disaat banyak pelanggan berkunjung namun suaminya masih sibuk beribadah. Tak jarang ia menyalahkan suaminya jika ada orang yang mengambil gorengan banyak dan hanya membayar setengahnya. Ketaatannya kepada Tuhan tak pernah membiarkan omelan istrinya mengganggu urusan akhiratnya, ia hanya akan memperkencang lantunan ayat sucinya untuk meredam suara istrinya.

           “Alhamdulillah 3 juz lagi tamat.” Ucapnya sambil menghampiri istrinya di dapur.

           “ Iya Bapak enak ngaji sepuasnya nyampe pagi, ga pernah peduliin kalo aku mangil ada yang beli. Sedangkan aku kan harus nyiapin warung, menggoreng, repot pokoknya” Isah mendelik kepada suaminya yang masih mengenakan sarung dan kopiah dikepalanya.

           Tanpa disadari mereka memang selalu berlomba untuk menamatkan Al-quran setiap bulannya entah itu saat Ramadan atau bulan-bulan biasanya. Berlomba-lomba dalam kebaikan terutama dalam beribadah akan meningkatkan antusias dan semangat kita dalam beribadah meningkatkan keimanan kita tanpa mengurangi khusyuk dalam menjalaninya.

           “Gitu tuh kalo ketinggalan, padahal waktu malam kamu bisa nyuruh aku buat bantu siapin adonan, jadi bisa tuh tadarus sampe subuh.” Ia membantu membawa gorengan dalam wadah dan menyimpannya di atas meja warung.

           Seorang pria berambut gondrong datang dengan uang dua ribu lembar ditangannya. Yayat yang sedang melepas samping dan kopiah buru-buru menaruhnya asal dan menghampiri pelanggan.

           “Bah, gorengan dua.” ucap pelanggan tersebut sambil mengambil satu goreng bakwan dan memasukan ke mulutnya.

           “Oh iya sok aja ngambil.” Yayat menghampiri dan duduk di sebelah Pak Asmul yang merupakan tetangga di samping rumah.

           “Belum berangkat ke sekolah pak?” sambung Yayat. Pak Asmul ini merupakan seorang PNS yang menjadi Kepala Sekolah disebuah sekolah negeri di kota. Beliau jugalah tetangga yang paling perhatian kepada dua orang tua renta ini. sering kali saat Isah atau Yayat mengalami sakit Asmul dan istrinyalah yang akan pertama kali mengunjungi dan merawat mereka.

Lihat selengkapnya