Bumi yang Dihujani Rindu

Hadis Mevlana
Chapter #5

Berbagi Hati

“Yakin nggak ada barang lagi yang harus dimasukkan ke koper?” tanya Fritz, setengah bercanda. “Jangan sampai nanti bongkar-bongkar lagi.”

“Sudah yakin banget,” jawab Felix santai. “Soalnya barang paling penting yang ditunggu-tunggu sudah masuk ke dalam.”

“Apa tuh?” Fritz menaikkan alis, penasaran.

Felix menyeringai. “Apa lagi kalau bukan cinderamata dari pujaan hati.”

“Dari Kiara, maksudmu?”

Felix tertawa. “Siapa lagi kalau bukan dia.”

“Wah, pasti cinderamata spesial,” goda Fritz sambil melirik ke arahku.

Beberapa jam sebelum aku dan Fritz bersiap untuk salat zuhur, Kiara datang ke apartemen bersama Eva. Di tangannya ada sebuah kotak mungil, terbungkus kertas kado biru muda. “Kenang-kenangan,” katanya lembut sambil menyerahkannya padaku. Seperti teman-temanku yang lain, Kiara ingin meninggalkan sesuatu sebelum kepergianku. Hanya saja, hadiah darinya masih belum sempat kubuka.

Seperti biasa, kehadiran Kiara selalu memancing canda dan godaan. Felix sering menggoda kami berdua, menyuruh Kiara untuk segera "menghalalkan cinta"—tentu saja, aku yang jadi sasaran utama candanya. Kiara hanya tersenyum, malu-malu. Tapi siang itu, suasana yang awalnya ringan dan penuh tawa tiba-tiba berubah tegang, nyaris seperti langit cerah yang mendadak digulung mendung.

“Memangnya kau siap untuk dipoligami?” tanya Felix tiba-tiba pada Kiara.

Kiara yang semula duduk santai, spontan memalingkan wajah ke arahnya.

“Menikah dengan laki-laki muslim itu harus siap berbagi hati,” lanjut Felix. “Siap dimadu.”

Aku menatap Felix heran. Dari mana datangnya lontaran itu? Fritz dan Eva menatapnya sinis. Kiara hanya diam, tersenyum tipis. Mungkin bukan karena setuju, tapi karena ia tak ingin terseret emosi.

“Eh, memangnya kau ada niat poligami, Fyan?” tanya Eva padaku, nada suaranya setengah bercanda, setengah penasaran.

Aku hanya tertawa kecil. “Pertanyaan macam apa ini?”

“Barangkali saja,” timpal Eva.

“Satu aja dulu diseriusin, ya nggak, Fyan?” sambung Fritz, melirik ke arahku lalu ke Kiara.

Kiara salah tingkah, wajahnya merona.

“Poligami memang diperbolehkan dalam Islam,” kataku perlahan. “Tapi dengan syarat yang sangat ketat. Dan ingat, diperbolehkan itu bukan berarti diwajibkan.”

***

Setelah semua barang selesai dikemas, Felix menghampiriku. Wajahnya serius, berbeda dari biasanya.

“Sebenarnya ada yang ingin kutanyakan sebelum kau pulang ke Indonesia,” katanya. “Tapi … nanti saja deh. Kau pasti capek.”

“Tidak, tidak. Silakan saja.”

“Tapi … jangan tersinggung ya.”

Aku tersenyum. Aku sudah tahu arah pertanyaannya.

“Felix,” ucapku tenang. “Sejak kapan aku tersinggung atas pertanyaan-pertanyaanmu? Bahkan ketika kau menyudutkan Islam, aku tetap mendengarkanmu, bukan?”

Lihat selengkapnya