Bumi yang Dihujani Rindu

Hadis Mevlana
Chapter #1

Ketika Cinta Merekah

Ketika ikrar telah menggema

Kita laksana tinta dan pena

Saling setia

Menuliskan episode di atas lembar cinta-Nya

Kita akan menerjemahkan warna

Bersama menjadi satu kata

Dalam kitab cinta-Nya

 

Seorang gadis bermata biru keluar dari balik pintu sambil tertunduk malu. Ia melangkah anggun bak putri raja dengan gaun putih yang begitu indah. Kain panjang berwarna senada menutup aurat dengan sempurna aurat. Tak tampak lagi rambut cokelat, sebagaimana biasa dia biarkan terurai panjang sebahu sebelum hidayah menyapa hatinya. Ujung jilbab sebelah kanannya tersemat di bahu kiri menggunakan bros mutiara. Cantik. Bahkan lebih cantik dari Masha Alalykina seorang mantan top model Rusia. Kulihat, raut wajah begitu gembira di sana. Tergambar senyum di wajahnya. Sesekali tatapan gadis pemilik darah campuran Aceh Rusia itu mengarahkan tepat ke mataku. Aku yang tengah duduk berhadapan dengan Paman Daud, wali nikahnya, tertunduk malu.

Hari ini begitu istimewa. Sebuah sejarah besar dalam hidupku segera bermula. Sebuah peristiwa sakral yang begitu berat pertanggungjawabannya bagi seorang pria di hadapan manusia pun Rabbnya. Inilah hari yang ditunggu-tunggu sepasang insan yang saling mencinta karena cinta-Nya. Sebuah hari permulaan ibadah paling panjang dalam kehidupan manusia. Callista Kiara Filothei, sosok gadis jelita bermata indah itu sebentar lagi akan melepas masa lajang. Sebentar lagi ia akan menjadi belahan jiwa lelaki sederhana dari sebuah kampung dari negeri seberang.

Dekorasi pesta dibuat sederhana. Dominasi warna putih dengan hiasan bunga dan pita-pita warna ungu muda kesukaan Kiara. Ruang tamu rumah Paman Gamaliel menjadi tempat berlangsungnya acara. Pun sebagai saksi bisu dari kesucian cinta dalam sebuah akad nikah.

Tepat di hadapanku tergeletak sebuah kotak warna ungu berisi mahar sederhana. Sebuah cincin lima gram telah kupersiapkan. Aku membayangkan beberapa waktu ke depan akan memakaikan cincin itu ke jari manis usai untuk menghalalkannya. Saat itulah, aku akan menyentuh tangannya untuk kali pertama. Aku yakin tangannya begitu halus dan lembut seperti sutra. Terbayang pula saat ia akan mencium tanganku sebagai bentuk penghormatannya sebagai istri di hari pertama.

Aku canggung. Keringat dingin pun bercucuran dari pelipis, lalu menganak sungai di pipiku. Tanganku gemetar. Jantungku berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Sangat kencang. Kiara tersenyum melihat keadaanku seperti itu. Kulihat, teman-temanku. Ternyata mereka pun sama saja. Mereka tersenyum, lalu tertawa kecil melihatku yang tengah gugup salah tingkah.

“Bisa kita mulai?” tanya Paman Daud.

Kulihat Om Thimoty dan Tante Anna yang duduk mengapit putri semata wayangnya mengangguk tanda setuju. Beberapa detik ke depan prosesi akad nikah segera dimulai. Tanganku menjabat tangan Paman Daud sebagai walinya. Aku membayangkan seisi ruangan akan riuh dengan doa “Barakallahulaka ….” usai kuucapkan qabul atas ijab yang diucapkan Paman Daud dan disahkan oleh para saksi yang ada.

“Rabb … diakah wanita yang akan mendampingi hidup hingga tarikan napas terakhirku? Jujur aku mencintainya, tapi aku lebih mencintai-Mu dan Rasul-Mu. Dan Engkau pun tahu janji yang selalu kulantunkan di rakaat salatku: aku hanya ingin Hidup dan Mati dalam nama-Mu, dalam cinta-MU.”

Kejadian hari ini sejatinya telah tertulis di lauh mahfuz menjadi takdirku. Paman Daud mengucapkan lafaz ijab dengan tegas dan mantap.

Kita akan menjadi satu

Lihat selengkapnya