Ketika ikrar telah menggema
Kita laksana tinta dan pena
Saling setia
Menuliskan episode di atas lembar cinta-Nya
Kita akan menerjemahkan warna
Bersama menjadi satu kata
Dalam kitab cinta-Nya
Langit Regina masih menyisakan embun pagi saat sinar matahari pertama menyelinap masuk melalui jendela ruang tamu. Cahaya keemasan itu memantul lembut di dinding krem yang hangat dan menari di atas karpet yang tertata rapi. Udara pagi terasa segar, dibalut aroma bunga segar yang menenangkan.
Ruang tamu besar yang biasanya dihiasi ikon dan lambang Kristen Orthodox kini tampak bersih dan sederhana. Semua simbol keagamaan telah disimpan sementara, memberi ruang untuk sebuah peristiwa sakral yang sebentar lagi akan berlangsung: ikrar cinta yang mengikat dua jiwa.
Karpet krem membentang dari pintu masuk hingga ke meja akad. Lampu gantung kristal sederhana menyala tenang di langit-langit. Kursi-kursi tamu tersusun rapi, dan di tengah ruangan, meja bundar dengan taplak renda putih tampak anggun. Vas kecil berisi bunga lili dan anggrek putih menambah kesan damai.
Seorang gadis bermata biru melangkah keluar dari kamarnya. Wajahnya polos, hanya dihiasi riasan tipis. Cantik. Bahkan lebih cantik dari Masha Alalykina seorang mantan top model Rusia. Kulihat, raut wajah begitu gembira di sana. Tergambar senyum di wajahnya. Gaun panjang berwarna ivory menjuntai anggun, dan jilbab satin putih membingkai wajah ovalnya. Ujung jilbab disematkan bros mutiara yang berkilau lembut. Dialah Callista Kiara Filothei, gadis yang hari ini akan menapaki babak baru dalam hidupnya.
Hari ini begitu istimewa. Sebuah peristiwa sakral akan dimulai—perjalanan ibadah paling panjang dalam kehidupan manusia. Kiara, gadis bermata biru itu, akan segera menjadi pendamping hidup seorang lelaki sederhana dari negeri seberang, Teluk Kuantan.
Dekorasi pernikahan dibuat sederhana. Warna putih mendominasi, dengan hiasan bunga dan pita ungu muda—warna kesukaan Kiara. Ruang tamu rumah Paman Gamaliel menjadi tempat berlangsungnya akad, saksi bisu cinta yang akan diikat dalam janji suci.
Di hadapanku terletak kotak ungu berisi mahar: cincin emas lima gram. Aku membayangkan saat nanti memakaikan cincin itu ke jari manisnya, menyentuh tangannya untuk pertama kali, dan ia mencium tanganku sebagai bentuk penghormatannya sebagai istri.
Aku canggung. Keringat dingin mengalir di pelipis. Tanganku gemetar, jantung berdetak kencang. Kiara tersenyum melihatku yang gugup. Teman-teman menertawai tingkahku.
Om Thimoty dan Tante Anna duduk di sisi kanan ruangan, memandang putri semata wayangnya dengan wajah bahagia bercampur haru. Di dekat mereka, Paman Daud, adik Om Thimoty yang menjadi wali nikah Kiara, telah bersiap.
Pagi itu terasa hening. Meja akad tersusun rapi, dihiasi pita ungu dan bunga segar. Sinar matahari menari di atas meja, memberi kesan sakral dan hangat. Kiara mengangkat sedikit ujung gaunnya, melangkah pelan ke arah orang tuanya, menenangkan diri, dan menunggu segalanya dimulai, saat ketika cinta mereka akan merekah.
Sesekali tatapan gadis pemilik darah campuran Aceh Rusia itu mengarahkan tepat ke mataku. Aku tertunduk malu. Ia pun menunduk sambil menggenggam erat jemarinya. Aku bisa melihat betapa ia mencoba menenangkan gemuruh dalam dadanya, sama seperti aku.
Om Thimoty tampak tegar meski matanya basah. Tante Anna menggenggam erat tangannya. Aku duduk berhadapan dengan Paman Daud. Dadaku sesak oleh syukur dan haru. Tanganku gemetar, keringat dingin mengalir pelan. Aroma bunga segar menguatkan sekaligus menenangkan. Nafasku terasa berat, seolah beban janji yang akan kuucapkan begitu nyata.
Kiara tersenyum penuh pengertian. Tatapannya seolah berkata, "Kita akan melewati ini bersama."
“Apakah ini mimpi? Atau benarkah ia memilihku, dari segala kemungkinan yang bisa ia pilih?” batinku.
Pembawa acara memulai dengan doa. Ayat-ayat suci dilantunkan. Suasana menjadi sakral. Detik jam terdengar lantang.
“Bisa kita mulai?” tanya Paman Daud memecah hening.
Om Thimoty dan Tante Anna mengangguk. Aku menjabat tangan Paman Daud. Dalam hati, aku berdoa, “Rabb … diakah wanita yang akan mendampingi hidup hingga tarikan napas terakhirku? Jujur aku mencintainya, tapi aku lebih mencintai-Mu dan Rasul-Mu. Dan Engkau pun tahu janji yang selalu kulantunkan di rakaat salatku: aku hanya ingin Hidup dan Mati dalam nama-Mu, dalam cinta-MU.”
Paman Daud mengucapkan ijab dengan tegas.
Kita akan menjadi satu
Layaknya rangkaian tubuh
Selalu padu
Kita berjanji setia
Berjalan dalam aliran darah yang sama