Bumi yang Dihujani Rindu

Hadis Mevlana
Chapter #17

Elegi Cinta

Usai aku membacakan puisi di acara pesta tadi, Om Thimoty mengambil microphone. Aku dan Felix belum sempat beranjak dari posisi semula. Tiba-tiba Om Thimoty menceritakan kejadian beberapa hari lalu saat aku hendak melamar putrinya. Setelah tempo hari aku mendapati seolah Om Thimoty menolak lamaran hari ini terjadi hal sebaliknya. Bahkan Om Thimoty mengumumkannya di hadapan para tamu undangan.

Seketika jantungku seolah berhenti berdetak saat sebuah ucapan yang seharusnya membuatku bahagia meluncur dari bibirnya. Restu seorang ayah kepada lelaki yang hendak meminang putrinya. Aku seperti berada di suatu dimensi di mana waktu mati dan semua benda yang bergerak tiba-tiba berhenti. Harusnya aku menjadi salah seorang lelaki paling bahagia. Lelaki paling beruntung sebab akhirnya mendapatkan restu dari ayah seorang gadis berhati mulia dan berwajah jelita. Sungguh seharusnya aku adalah lelaki paling mujur di antara pria-pria yang menaruh hati padanya.

“Bagaimana Sofyan?” tanya Om Thimoty sambil tersenyum.

Ucapan Om Thimoty membuat seolah nyawaku terlepas dari raga. Sungguh ini di luar rencana. Aku bingung harus menjawab apa. Semua mata tertuju padaku seolah memintaku untuk segera menjawabnya. Jika memang benar Om Thimoty merestui hubunganku dengan Kiara, lalu apa maksud reaksinya tempo hari saat aku datang ke apartemen Kiara untuk melamar putrinya? Apa maksud Om Thimoty tempo hari yang langsung pergi meninggalkanku tanpa merespon lamaranku sepatah kata pun?

“Ya Allah, aku harus menjawab apa?” batinku.

Permintaan Om Thymoty begitu sulit terlaksana sekejap mata. Sebuah permintaan yang menurutku sangat berat. Dalam waktu sesingkat ini aku harus memutuskan perkara besar dalam hidupku. Sebuah pernikahan.

“Ini sudah di depan matamu, Fyan. Cukup mendengar kesedianmu dan kau akan hidup bahagia dengan seorang wanita yang selama ini kau cinta.” Seolah ada bisikan itu di telingaku.

Pasalnya beberapa waktu lalu saat perjalanan menuju Delta Hotels by Marriott Bessborough aku belum juga berhasil menelepon Emak. Akankah Emak merestui pilihanku? Jika tidak aku tidak hanya akan membuat hati Kiara terluka, tetapi juga keluarga besarnya. Jika saja Emak benar-benar tidak setuju dengan wanita pilihanku, entah apa yang harus kukatakan pada Om Thimoty nanti. Tentu aku akan merasa orang paling bersalah. Mungkin ia akan menuduhku sebagai seorang lelaki tak punya hati. Hanya bisa mempermainkan perasaan wanita. Padahal tidak ada maksudku untuk melakukan yang demikian.

***

Aku memandang Kiara yang duduk di sebelah Tante Anna, ibunya. Dia terlihat sangat cemas saat aku harus menjawab pertanyaan ayahnya. Bukannya aku tak berani mengambil sikap dengan segera menjawabnya. Hanya saja aku masih memiliki Emak. Selain restu dari Om Thimoty, aku pun butuh restu dari Emak. Benar menikah itu ibadah. Namun, tanpa restu dari Emak, aku merasa ada yang mengganjal di lubuk hatiku terdalam. Ini menikah, ibadah, bukan main-main.

Jauh hari sebelum aku datang ke apartemen Kiara untuk menemui ayahnya, aku pernah mengatakan tentang sebuah syarat padanya. Sebuah syarat yang menurutku sangat sederhana. Namun, sangat berarti untukku melangkah ke depan dalam mengarungi biduk rumah tangga. Sebuah restu. Sebelumnya, aku sudah mengatakan pada Kiara bahwa aku harus meminta restu kepada Emak. Hanya dengan restu Emak sajalah aku akan memutuskan untuk melangkah ke jenjang selanjutnya. Menikah.

Lihat selengkapnya