Bumi yang Dihujani Rindu

Hadis Mevlana
Chapter #10

INSYAALLAH

Terdengar samar dari kamar mandi, Felix menarik napasnya dalam, lalu membuangnya keras-keras. Sepertinya dia kesal mendengar jawabanku yang selalu ‘insyaallah’. Namun, begitulah ajaran agamaku. Tiap kali berucap janji dengan siapa pun, aku memang selalu mengucapkan itu. Aku hanya berusaha mengamalkan perintah agama selagi mampu.

“Jawab ‘ya’ aja susah banget, Fyan,” kesal Felix.

“Loh memangnya kenapa dengan ucapan insyaallah?” tanya Fritz dengan nada heran.

“Ah kalian sekongkol. Mentang-mentang sesama muslim bisa-bisanya kalian ….”

Felix tak meneruskan ucapannya. Aku keluar dari kamar mandi usai berwudhu, lalu melirik ke arah Fritz. Kulihat, matanya bak singa yang akan menerkam rusa. Tajam dan penuh gairah untuk menghabiskan mangsanya. Setelah reda beberapa saat, mendadak emosi Fritz kembali terbakar. Mungkin ia tak suka dengan kearoganan Felix yang memaksaku harus menuruti kemauannya. Felix memintaku menjawab pertanyaannya dengan jawaban pasti: “ya”.

Aku yakin jika Felix melanjutkan lagi ucapannya maka Fritz tak akan segan-segan untuk menghujani Felix dengan ribuan kata-kata penuh amarah. Atau bahkan bisa jadi langsung menghajarnya.

“Sudah …,” pintaku pelan agar tak memperpanjang lagi permasalahannya.

“Memang kenapa kalau kami muslim, Fel?” tanya Fritz dengan kesal.

“Sudahlah, Fritz …,” pintaku sekali lagi sambil menatap air muka Fritz yang masih diliputi amarah, “istigfar.”

“Bagiku ucapan ‘insyaallah-mu’ itu seperti orang yang ragu-ragu,” ucap Felix menjelaskan maksudnya, “Gamang antara ingin menjawab ‘ya’ dan ‘tidak’. Bagiku itu sama saja dengan jawaban yang tidak tegas. Seperti pengecut.”

“Itu kan menurutmu,” ucap Fritz masih dengan emosi yang sudah agak lebih reda dari sebelumnya.

Aku menatap Fritz, lalu tersenyum kepadanya. Tanpa perlu mengeluarkan sepatah kata, teryata Fritz tahu arti di balik senyumanku itu. Aku memintanya untuk tenang. Tidak mengedapankan emosi. Apalagi sampai berujung dengan saling caci maki.

Fritz menarik napas, lalu mengembuskan semuanya. 

“Astagfirullahaladzim,” lirih Fritz sambil mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya.

Aku mulai bicara. Meluruskan kesalahan tentang ‘insyaallah” seperti yang baru saja Felix ungkapkan.

“Kami hanya menuruti perintah yang ada dalam kitab suci kami, Fel,” ucapku tenang.

“Tentang sebuah ketidakpastian?” tanya Felix apatis.

“Masa depan memang hal yang tidak pasti kan?”

Aku balik bertanya pada Felix. “Bukankah kita sering dihadapkan pada situasi yang sudah kita rencanakan? Namun, kadang tidak sesuai harapan?” ucapku melanjutkan, “Sebab kita tidak pernah tahu tentang segala peristiwa yang akan terjadi di masa depan. Manusia hanya bisa berencana bukan? Selebihnya Tuhanlah yang menentukan hasilnya. Bukankah kau sering mengatakan hal itu padaku, Fel.”

Felix mengangguk.

Tentang takdir, kita memang tak pernah bisa mendahuluinya. Sebab kita tak pernah tahu hari esok akan seperti apa. Entah, apa yang akan menimpa kita. Entah, apakah akan terwujud semua rencana? Atau malah sebaliknya. Sungguh tak ada seorang pun yang tahu kecuali Dia. Sementara manusia hanya berikhtiar sekuat tenaga. Tanpa memiliki sedikit pun kuasa untuk menentukan hasil sesuai dengan kehendaknya.

***

 “Insyaallah itu artinya jika Allah menghendaki. Ini menunjukkan bahwa kita sebagai manusia tidak mengetahui sedikit pun tentang masa depan. Hal ini menyadarkan bahwa kita tidak mempunyai daya secuil pun untuk menentukan masa depan. Insyaallah itu menunjukkan betapa rendah hatinya kita sebagai seorang hamba sekaligus sadar bahwa ada kemahakuasaan dan kemahatahuan Allah dalam hidup kita.”

“Ya … ya … aku paham,” jawab Felix sinis, “seperti perintah yang ada dalam kitab suci kalian kan?”

Fritz mengepal kuat kedua tangannya. Mungkin Fritz menahan rasa kesalnya pada Felix. Apalagi jawaban Felix kali ini tekesan sangat egois.

“Juga dalam kitab sucimu, Fel,” ucapku sambil tersenyum.

Mendadak, raut wajah Felix berubah. Seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Lihat selengkapnya