Bumi yang Dihujani Rindu

Hadis Mevlana
Chapter #16

Memilih Pagi dan Pelangi

Butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk tiba 601 Spadina Crescent East di ujung tenggara Central Business District, pusat komersial Saskatoon. Kami tiba di sebuah hotel bersejarah bergaya Châteauesque. Aku kagum melihat kemegahan bangunan yang dibuka sejak tahun 1935 ini. Bangunan sepuluh lantai yang tingginya hampir 60 meter ini begitu gagah. Fritz memberikan kunci mobilnya ke petugas valley. Kami berjalan memasuki loby Delta Hotels by Marriott Bessborough.

“Nanti kau jadi mengisi acara, Fyan?” tanya Fritz.

“Insyaallah,” jawabku.

“So pasti bakalan makin keren acara nanti,” timpal Felix.

Tempo hari saat Kiara datang ke apartemen, ia memintaku untuk membacakan sebuah puisi di pesta kelulusannya. Jujur aku bingung. Entah, harus menjawab apa atas permintaannya. Sudah lama sekali aku tak membaca puisi di hadapan orang banyak. Terakhir kali aku membaca puisi, yaitu pada saat lomba di masa Sekolah Menengah Atas. Waktu itu aku kelas dua. Aku sempat menolaknya. Namun, Kiara terus memohon padaku untuk menuruti permintaannya.

“Yakin deh kalau Sofyan yang baca puisi bakalan bikin para gadis klepek-klepek,” ucap Felix.

Akhirnya kami tiba di tempat acara. Sungai Saskatchewan Selatan yang terletak di sebelah timur hotel seolah tersenyum menyambut kami. Kami segera menuju venue tempat berlangsungnya acara.

“O iya, bagaimana jika ternyata hari ini Om Thimoty merestuimu, Fyan?” tanya Felix.

“Pastinya senang bangetlah, Fel,” sahut Fritz.

Aku hanya tersenyum mendengar kedua sahabatku yang terus menggoda. Akhirnya kami tiba di salah salah satu ruangan private berukuran sedang di Delta Hotels by Marriott Bessborough yang dihias begitu cantik. Bangunan bersejarah yang menghadap ke sungai dan terletak di pusat kota Saskatoon seolah turut tersenyum dengan ruangan dihias penuh bunga.

Di ruangan yang bisa menampung sekitar seratus orang itu, tersedia meja-meja kecil yang diatur sedemikian rupa untuk para tamu undangan. Kulihat, meja tamu hampir penuh. Suasana begitu syahdu dengan diiringi lagu-lagu romantis yang dimainkan oleh para pemain musik yang berada di sudut dekat meja utama.

Aku melemparkan pandangan ke segala arah untuk mencari teman-temanku yang sudah tiba lebih dulu.

“Itu mereka di sana,” ucap Felix sambil menunjuk ke salah satu meja.

Mataku langsung menuju arah yang dimaksud Felix. Zahra, Eva dan Jasmine duduk di satu meja yang sama tak jauh dari meja prasmanan. Sementara kulihat Mario sendirian duduk di meja sebelahnya. Aku, Fritz dan Felix berjalan mendekat ke meja Mario, lalu bergabung duduk bersamanya.

“Kiaranya mana?” tanya Felix ke Mario.

“Mungkin sedang ke toilet.”

Mataku menyisir seisi ruangan. Di meja utama yang terletak di dekat para pemain musik sudah ada Om Thimoty dan Tante Anna beserta Paman Kiara yang lainnya. Paman Gamaliel dan Paman Moses tampak gagah dengan setelan jas warna gelap. Sementara Paman Daud memakai kurta warna broken white dipadu celana bahan warna khaki yang membuatnya tampak lebih segar dan terlihat lebih muda.

“Fyan, kau lihat lelaki gagah dengan setelaj jas hitam yang duduk di tengah,” bisik Felix. 

“Om Thimoty?”

Felix mengangkat kedua alisnya.

“Bagaimana jika Om Thimoty menyetujui lamaranmu hari ini?”

“Kau kan tahu sendiri Fel, bukankah Om Thimoty sudah menolakku tempo hari?”

“Menolakmu?” heran Felix, “Tapi seingatku tidak ada kata-kata penolakan. Ya kan Fritz?”

“Iya,” jawab Fritz singkat.

“Mungkin waktu itu Om Thimoty hanya perlu berpikir. Maklum, Kiara kan anak semata wayang. Aku yakin Om Thimoty nggak akan sembarangan memberikan puteri kesayangannya itu,” ucap Felix.

Entah apakah tebakanku itu benar atau salah. Sikap Om Thimoty waktu itu seperti bentuk penolakannya secara halus kepadaku. Tentu saja aku kecewa, sebab tak bisa bersanding dengan seorang gadis yang diam-diam selama ini kucinta. Namun, bagaimana jika ucapan Felix yang benar? Om Thimoty hanya perlu waktu sejenak untuk berpikir masak-masak. Entahlah. Lagi pula mereka hanya sedang berandai-andai saja.

Lihat selengkapnya