“Kau jangan mencari gara-gara, Fel,” kesal Fritz mendengar ucapan Felix yang saat itu ada bersama kami di apartemenku, “Kau mengatakan itu supaya iman kami goyang?
“Sudah-sudah …,” ucapku menenagkan Fritz.
Tentang pertanyaan Felix, sesunguhnya itu pertanyaan yang sudah usang. Pertanyaan yang sudah sering kali diulang-ulang oleh para pengkritik Al-Qur’an. Jawabannya pun sebenarnya sudah sering disampaikan oleh para ustadz di berbagai kesempatan.
“Tentang tawar menawar jumlah rakaat salat, yaa aku rasa itu tidak masuk akal,” ucap Felix dengan santai, “Mengapa Allah mesti berbelit-belit dalam perkara jumlah rakaat salat? Sehingga mesti terjadi proses tawar menawar yang menurut saya sangat konyol.”
Jujur aku sempat kaget saat pertanyaan itu keluar dari mulut Felix. Apalagi saat Felix memaparkan hadits yang membahas tentang peristiwa itu. Sebuah hadits yang membahas tentang Mi’raj, sebuah peristiwa luar biasa ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, melakukan perjalanan ke langit. Beliau naik dari bumi ke langit sampai dengan di langit yang ketujuh. Hingga tiba di sidratul muntaha, tempat beliau menerima perintah salat.
“Begini, aku pikir itu suatu hal yang aneh. Aneh ketika ada seorang yang kalian anggap sebagai Nabi paling mulia mesti bolak balik seperti orang bodoh untuk menawar jumlah rakaat salat. Bukankah Allah Maha Tahu atas kesanggupan hamba-Nya?” sambung Felix melanjutkan ucapannya, “Bukankah Dia Yang Maha Kuasa bisa langsung memberikan perintah salat lima waktu sejak awal? Kebijaksanaan macam apa yang Allah maksud dengan membiarkan Nabi kesayangannya itu harus bolak balik menawar sampai beberapa kali?”
Tidak cukup sampai di situ, Felix pun dengan lihai dan dengan gayanya yang percaya diri seolah ingin menantangku. Felix menjelaskan lebih jauh tentang peristiwa miraj itu dengan mengkritisi pertemuan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Nabi Musa ‘alaihi salam. Aku menyimak Felix yang menjelaskan itu dengan panjang lebar.
Aku sudah tahu ke mana arah diskusi Felix. Dia hanya ingin membuat kami iman kami gamang. Felix berusaha meyakinkanku bahwa kisah tawar menawar perintah salat itu adalah cerita palsu. Benar saja dugaanku. Felix berpikir bahwa peristiwa itu hanya dongeng yang mengada-ada.
“Terlebih dalam cerita itu kita dapat membaca bahwa terjadi dialog antara Muhammad dengan Musa. Musa yang menasihati Muhammad untuk meminta keringanan itu. Sementara Musa itu nabi dari kalangan Bani Israel. Apa hubungannya salat bani Israel dengan salatnya orang Islam?
Aku terdiam. Namun, diamku itu diartikan lain oleh Felix. Felix terlihat senang dengan diamku. Senyumnya mengembang bak seorang pemenang dalam pertandingam. Mungkin ia merasa menang karena aku tak menjawab pertanyaannya. Padahal diam belum tentu kalah. Diam bukan berarti kita tak mampu memberikan jawabannya.
“Santai saja, Sofyan. Jangan dianggap berat. Anggap saja ini obrolan biasa seperti obrolan sahabat yang sedang bertukar pikiran,” ucap Felix.
Aku harus meralat analisa Felix. Tak ikhlas rasanya jika ada siapa pun yang berbicara tidak-tidak tentang agamaku. Memang benar apa yang dikatakan Felix bahwa telah terjadi tawar menawar dalam penetapan waktu salat. Namun, tidak tepat jika Felix mengatakan bahwa peristiwa itu tidak masuk akan dan hanyalah sebuah dongeng belaka.