Hingga tengah malam mataku sulit terpejam. Rasanya hari ini begitu banyak persoalan hidup. Detak jarum jam terdengar begitu jelas. Sementara Felix sudah terlelap sejak beberapa jam lalu. Segala aktivitas sudah kulakukan. Mulai dari salat sunnah hingga menuntaskan bacaaan satu juz Al-Qur’an. Satu buku pun sudah selesai kubaca. Namun, yang kudapati hanya kedua mata yang lelah. Ketika kurebahkan badan dan kupejamkan mata rasanya sulit sekali untuk melelapkannya. Seolah aku lupa bagaimana cara sederhana untuk tidur seperti sebelum-sebelumnya.
Hatiku gundah. Harusnya ucapan Om Thimoty di pesta tadi membuatku bahagia. Sebab dia telah memberikan restunya kepadaku untuk menjadikan putrinya belahan jiwa. Namun, pada kenyataannya kini hatiku dalam dilema. Mendadak, restu dari Om Thimoty seolah menjadi momok yang menakutkan. Bagaimana aku bisa lega? Sementara hingga detik ini aku belum berhasil mendapat restu dari Emak.
Tengah malam tiba-tiba handphone-ku berdering. Aku meraihnya dengan meraba-raba meja belajar. Mataku sudah cukup berat tapi tak kunjung terpejam juga. Badanku sudah cukup lelah meski untuk bangun sejenak. Jika menelepon di jam segini siapa lagi kalau bukan dari Teluk Kuantan?
Jarak dan waktu kadang menjadi hambatan. Kadang ‘Aini lupa jika meneleponku saat siang di Teluk Kuantan, maka di Saskaton sudah tengah malam.
“Sudah mau tidur ya, Bang?” Terdengar suara ‘Aini dari seberang sana.
“Hmmm …,”jawabku singkat.
“Baru saja Pak Ramli datang melamar ‘Aini.”
Seketika mataku segar. Aku langsung mendudukkan tubuhku dan bersandar. Tak lama terdengar suara sesegukkan dari ‘Aini. Aku berdiri berjalan menuju jendela, lalu mengintip gelap malam di luar sana. Aku mencoba menenangkan ’Aini. Agak lama, akhirnya ’Aini pun membuka suaranya.
“Lepas pulang sekolah ’Aini heran melihat ada sejumlah uang dari mulut ampop coklat yang terbuka. Ada Pak Ramli juga di sana.”
“Mau apa Pak Ramli datang lagi ke rumah? Uang buat apa? Emak sakit lagi?”
“Nggak, Bang.”
“Lalu buat apa Pak Ramli bawa uang ke rumah?”
“Pak Ramli mau melamar ’Aini, Bang.”
Lalu ‘Aini menceritakan kejadian beberapa lalu yang baru saja membuat shock dirinya.
***
POV: ‘Aini
“Ada apa ini, Mak?”
Emak hanya terdiam. Aku melihat ke arah Pak Ramli. Kulihat, ia tersenyum genit ke arahku sambil memainkan janggut tips di dagunya.
“Begini,” ucap Pak Ramli sambil menegakkan duduknya, “maksud kedatangan saya hari ini adalah untu melamar Dik ’Aini.”
Aku sangat kaget dengan ucapan yang baru saja kelauar dari mulut Pak Ramli.
“Maksud Bapak?” ucapku sambil mengerutkan dahi.
“Tenang, tidak usah kaget seperti itu. Nggak terburu-buru kok. Saya akan menunggu ’Aini sampai lulus sekolah.”
Darahku bergejolak panas. Napasku memburu mendengar ucapan Pak Ramli yang seperti tanpa dosa itu.