Jumat, 6 September 2013
Secangkir kopi susu menemani pagiku. Katanya kafein yang terkandung di dalamnya mampu mengendurkan syaraf yang tegang. Membuat pembuluh darah melebar sehingga melancarkan peredaran darah.
“Bagaimana, enak kan kopi buatanku?” ucap Felix yang berjalan dari arah dapur.
“Sluurp … aah,” aku menyeruput kopi buatan Felix, “Sedap. Persis kopi yang dijual di Kafe-kafe.”
“Ah bisa saja kau, Fyan.”
“Aku serius.”
Felix berjalan mendekatiku. Ia berbisik di sebelahku.
“’Aini mau menikah?”
Seketika aku mematung.
“Dari mana Felix tahu?” batinku.
“Aku mendengar perbincanganmu dengan ’Aini tadi malam.”
“Mungkin kau salah dengar.”
“Ah tidak …,” ucap Felix, lalu duduk dikursi belajarnya, “aku sempat mendengar sedikit percakapanmu semalam dengan ’Aini.”
“Aneh. Aku baru tahu kalau ada orang tidur yang bisa menguping pembicaraan orang lain.”
“Bukan begitu. Aku sempat terbangun sebentar. Lalu melanjutkan lagi mimpiku. Sayang kalau mimpi indah itu tidak dilanjutkan.”
“Kau kira mimpi itu seperti series film di TV?” Aku tertawa kecil.
“Siapa tahu saja aku sedang beruntung. Ya kan?” sahut Felix sambil meniup-niup kopi panas di cangkir berukuran sedang berwarna orange.
“Ada-ada saja kau, Fel.”
“Kalau kuperhatikan, kau tak pernah melakukan video call dengan Emak dan ‘Aini ya, Fyan?”
“Pernah, kok. Kau ingat saat kita wisuda kan?”
Felix mengangguk.
“Hanya saja kalau aku sedang di apartemen ‘Aini memang hampir tidak pernah melakukan video call.”
“Kenapa?”
“Dia tahu ada lelaki lain yang bukan mahramnya di sini.”
“Apa hubungannya?”
“Adikku malas karena mesti pakai jilbab. Khawatir terlihat auratnya kepada yang bukan mahramnya.”
“O ….” Felix mengangguk “Jadi ….”