Bumi yang Dihujani Rindu

Hadis Mevlana
Chapter #22

Tenggat

Midtown Plaza menjadi tempat pertemuan kami. Bakda salat Jumat, aku segera meluncur ke sana. Dari ratusan tenan makanan, kami memilih restoran Chinese food sebagai tempat pertemuan kali ini. Tempatnya luas dan lumayan tenang dibandingkan tempat yang lain. Kami memilih meja dekat Shufa, kaligrafi ala Tiongkok, yang menempel di dinding. Kaligrafi berukuran besar itu tampak mewah dengan bingkai emas. Kata-kata yang ditulis dengan tinta hitam di atas kanvas berwarna merah itu berisi puisi tentang cinta. Begitu kata penjaga toko beberapa saat lalu sesaat kami usai memesan menu makanan.

Meski penjaga toko tak bisa menjelaskan lebih rinci bagaimana isinya, tetapi mendengar kata cinta membuat imajinasiku berlayar kemana-mana. Mendadak melintas huruf-huruf tersusun lalu merangkai kata. Saling menjalin menjadi bait-bait. Seorang gadis yang duduk di hadapan mata membuatku bingung dengan sebuah rasa yang ada dalam dada. Entah, harus kuberi nama apa. Cinta? Rindu? Entahlah.

Inikah buah rindu

Getar nadi berubah merdu

Candu melagukan namamu

 

Ke manakah hendak bermuara

Kepada cinta yang menjelma surga

Atau sebatas romansa dunia yang fana


Sungguh misteri

Akankah cinta menyelimuti hati penuh kasih

Ataukah menyayat hati menjadi perih


 Kami duduk bertiga. Kiara, aku, dan lelaki yang tadi berbicara denganku di dalam telepon. Aku salah menebak. Aku mengira Hezron yang meneleponku. Sekilas suaranya mirip sekali. Namun, akhirnya aku bisa menebak tanpa ia menyebutkan terlebih dulu namanya. Hanya dengan satu kalimat “Saya pamannya Kiara”. Belum sempat dia menyebutkan nama, aku langsung bisa menebaknya

***

“Paman Daud,” lirihku beberapa saat lalu di telepon.

Felix dan Fritz melihat ke arahku. Sigap, aku langsung mengambil handphone-ku yang dipegang Felix. Aku mengucapkan salam, lalu Paman Daud menjawab salamnya.

Lihat selengkapnya