Jika aku serupa anggur bagimu
Maka tumpahkan saja
Pecahkan cawannya agar kau tak mabuk
Sebab
Jika tidak begitu
Esok kau akan makin tersiksa
Karena aku bagimu telah berubah menjadi candu
Sepanjang perjalanan pulang hatiku gamang. Entah, apa yang harus kuputuskan dalam tiga hari ke depan. Menyudahi semua atau melanjutkan hubunganku dengan Kiara untuk membina cinta. Menjelang magrib aku kembali ke apartemen. Setelah ketukan yang ketiga, pintu terbuka. Fritz masih ada di kamarku. Dia duduk santai sambil bersandar ke dinding di atas tempat tidur. Kulihat, ia sedang membaca salah satu buku bacaan milikku yang sengaja tidak kukemas ke dalam koper.
Aku masuk dengan langkah pelan layaknya orang kebingungan. Kuambil tiga botol kecil ukuran 100ml dari dari dalam kantong jaket, lalu meletakkannya di atas meja belajar. Fritz segera bangkit, lalu berjalan mendekat.
“Jadi kau bertemu Paman Daud hanya untuk mengambil ini?” ucap Fritz sambil mengambil satu botol kecil air di atas meja.
Aku tak menggubrisnya. Aku duduk di kursi belajar dengan pikiran yang tengah berkecamuk.
“Hei Fel, kau masih ingat cerita kita tentang ini?” ucap Fritz sambil menunjukkan botol itu pada Felix.
Felix berjalan mendekat. Lalu mengambil satu botol kecil air di atas meja belajarku.
“Ya … ya … aku ingat,” jawab Felix manggut-manggut, “Air dari Arab kan?”
Lalu mereka menceritakan kembali kenangan itu beberapa waktu lalu. Aku tak fokus menyimak. Kali ini mereka menceritakannya sambil tertawa-tawa. Padahal kejadian waktu itu sempat membuat suasana memanas. Hampir saja terjadi baku hantam jika aku tak melerai keduanya.
***
“Itu air dari PDAM di Arab, kan?” ucap Felix tempo hari saat melihat botol-botol kecil berisi air zam-zam di atas meja belajarku.
Pertanyaan Felix yang notabenenya seorang nonmuslim sontak membuat geram Fritz yang saat itu sedang mampir di apartemenku. Tidak hanya Fritz yang bangkit emosinya, aku pun sama. Bahkan Fritz hampir saja menarik kerah baju Felix jika aku tak segera menghalanginya.
“Kau jangan sembarangan bicara,” geram Fritz, “Atau mau aku sobek-sobek mulutmu. Mau?”
“Eits … santai … aku cuma nanya,” elak Felix.
“Pertanyaanmu itu nggak guna,” kesal Fritz.
“Sudah … sudah,” suaraku meninggi, “kalau kalian mau berkelahi, sana di luar. Jangan di sini.”
Fritz melotot. Tangannya meremas kuat. Sementara Felix tetap terligat santai.
“Kalian ini bukan anak kecil lagi. Kalian ini orang berpendidikan. Bisa kan bersikap dewasa?”
“Felix, biang masalahnya, Fyan,” kesal Fritz.
Felix mengerutkan dahi.
“Kalau kau nggak mau minum air itu,” sewot Fritz sambil menunjuk segelas kecil air zam-zam di atas meja belajarku, “nggak usah membuat fitnah yang tidak-tidak.”
Gelas kecil berisi air zam-zam milik Felix masih penuh. Belum diminum sedikit pun. Sementara gelasku dan Fritz sudah kosong.
“Sudah-sudah ...,” ucapku menenangkan, “Fritz ada benarnya, Fel.”
“Maksudmu?” heran Felix.
“Bukannya aku membela Fritz, tapi caramu barusan memang bisa membuat orang emosi.”
“Tapi aku kan cuma bertanya,” ucap Felix.
“Aku paham. Tapi susunan pertanyaanmu terdengar provokatif.”
“Yaaa … maaf kalau begitu. A-aku nggak bermaksud ….”
“Apalagi yang kau tanyakan itu sudah masuk wilayah keyakinan seseorang,” ucapku memotong Felix, “sangat sensitif.”