Kupandangi foto Emak yang begitu anggun di atas meja belajar. Mendadak, mataku berkaca. Air bening pun tak mampu membendung di kelopak mata. Pelan-pelan ia turun menyusuri kedua pipi. Beberapa saat lalu akhirnya aku menuruti Fritz. Menelepon Emak untuk memastikan tentang hubunganku dengan Kiara. Jawabannya masih sama.
“Apa harus menikah dengan gadis dari negeri orang sementara masih banyak gadis di negeri sendiri yang cantik juga sholehah?”
Ucapan Emak itu tetap membuatku bungkam. Tak sepatah kata pun meluncur dari bibirku untuk membantahnya. Sekali lagi aku berusaha meyakinkan Emak. Berharap semoga ada sedikit peluang. Namun, argumentasiku kalah. Aku tak berhasil menyentuh sedikit pun hatinya. Bahkan Emak seolah menawarkan padaku seorang gadis dengan kriteria yang nyaris sempurna.
“Kalau kau mau menikah, Emak punya kenalan anak gadis. Emak sudah kenal lama dengan keluarganya. Insyaallah dari keturunan orang tua yang taat menjalankan agama. Cantik parasnya. Orang-orang bilang, sekilas dia mirip Laudya Cintya Bella. Berpendidikan pula. Paling penting dari itu semua, insyaallah dia anak yang sholehah.”
Meski aku tahu itu bukan berarti lantas Emak ingin menjodohkanku. Namun, mendengar ucapan itu mendadak tubuhku layu. Seolah tulang-tulang terlepas dari raga.
Emak hanya tak ingin aku memiliki pasangan yang berasal dari negeri seberang. Perbedaan budaya yang terbentang begitu jauh berbeda. Emak tak ingin kelak ada gesekan yang membuat keretakan karena begitu jauhnya perbedaan. Meski cobaan rumah tangga akan selalu ada ketika menikah dengan pasangan yang memiliki kesamaan budaya. Namun, setidaknya akan lebih mudah memadupadankannya. Begitu alasan yang keluar dari mulut Emak. Meski aku sendiri tak langsung mendengarnya. Beberapa waktu lalu ‘Aini yang menceritakanya.
***
“Aku khawatir,” ucap Fritz, “akan terjadi hal buruk pada Kiara jika rencana lamaranmu batal?”
“Buruk bagaimana maksudmu?” tanyaku.
“Depresi?” tebak Felix.
Fritz menggeleng.
“Ada kekhawatiran yang lebih besar dari itu.”
“Maksudmu Kiara akan murtad lantaran ia kecewa dengan keputusanku?”
Felix mengangguk. Aku tersenyum melihat kekhawatiran Fritz.
“Aku serius, Fyan.”
“Insyaaah, nggak, Fritz.”