"Yang, kenapa Gara selalu disayang Tuhan?"
Meja makan mendadak lengang. Eyang yang tadinya tekun mengiris tahu kini beralih pandang ke arahnya. "Semuanya disayang oleh Tuhan, Dia nggak pilih-pilih."
"Memangnya seperti itu yang?"
"Kenapa Bumi tanya begitu?" Eyang kembali bertanya dengan lembut.
"Gara tidak pernah menangis. Pasti tidak pernah merasakan sedih."
Eyang beranjak, menyentong nasi goreng ke atas piring cucunya, lalu tersenyum simpul. "Le, semua manusia pasti diberi kadar sedihnya masing-masing. Nggak ada yang bahagia terus."
"Tapi Gara nggak pernah menangis."
"Mungkin Gara selalu bersyukur."
"Gara pasti bersyukur eyang, dia kan punya segalanya."
"Bukan karena punya segalanya lantas kita baru bersyukur, le. Tapi bagaimana kita merasa cukup, lalu bersyukur."
"Kenapa Bumi nggak disayang Tuhan?"
Eyang menatapnya tajam, lalu menghela napas. "Kenapa Bumi bilang begitu?"
"Bumi cuma mau Ibu, tapi Ibu juga diambil Tuhan. Bumi juga nggak nakal, Bumi nggak ngrepotin Ibu. Bumi juga rajin belajar, lalu kenapa Tuhan nggak sayang sama Bumi?"
"Kenapa Ibu diambil, Bum? Karena Tuhan jauh lebih sayang sama kamu."
Bumi menatap nanar ke arah eyang. Tak mengerti maksud dari jawabannya. Sambil menahan air matanya yang nyaris saja jatuh. Bumi sudah berjanji, untuk tidak menangis. Maka sesulit apapun itu, Bumi harus menepatinya.
"Tuhan cuma mau bilang sama Bumi, nggak ada yang bisa diandalkan. Semuanya itu fana. Bumi cuma punya Tuhan, sama diri Bumi sendiri." Tutur eyang sambil menepuk pundak Bumi. Entah kenapa tepukan pundak selalu punya filosofi maha arti. Karenanya terlahirlah energi, yang diproses menjadi sebuah kekuatan lain. Entah bagaimana prosesnya.
Anak sembilan tahun itu cuma terbata, mengerti sepotong-sepotong saja. Kini Bumi dipaksa harus segera menjadi dewasa. Meski kanak-kanak rasanya membuat semua orang acapkali begitu terlena, tak mau berpindah ke mana-mana. Menjadi kanak-kanak adalah masa paling ajaib. Semuanya serba sederhana, tak begitu banyak hal yang jadi isi kepala selain bermain sampai sore, mendapatkan gundu sebanyak-banyaknya, dan jajan es krim.
--------
Kejadian-demi-kejadian memaksa Bumi untuk segera menjadi dewasa waktu itu. Kesedihan mengakrabkannya pada sepi dan malam yang tidak usai-usai. Hari ini, puluhan waktu berlari cepat dalam bayangan semua orang, meski cuma merangkak pelan-pelan baginya. Sangat pelan.
Bumi menatap sepasang mata anak kecil dengan baju lusuh yang berjalan tergopoh di emperan kafe. Tubuhnya kurus kecil, lelah berjalan seperti membuat kakiinya tak lagi sanggup menopang beban tubuhnya. Langkah kaki kecil itu semakin terseok, lalu benar-benar tumbang di beberapa langkah selanjutnya. Beberapa pejalan tak menatapnya sebagai hal yang menyedihkan. Tatapan masa bodoh sekilas dan lalu tak menghiraukan adalah hadiah paling tidak manusiawi untuk Bumi lihat. Kebanyakan manusia modern memang keras hati. Sibuk sendiri pada tujuan masa depan mereka, pada kecukupan mereka, tanpa pernah mau menengok sekitarnya. Mereka jauh lebih bisa dikatakan seperti binatang, tak pantas jadi manusia.
Sepasang lengan mungil membangunkan anak itu. Di sampingnya sudah ada sebotol air mineral, dan sepiring nasi ayam yang hangat baru saja selesai dipesan. Perempuan itu sibuk menepuk pelan pipi anak kecil yang masih memejamkan mata. Bumi terlalu lama mengambil sikap, sampai seseorang itu yang akhirnya mendahului.
"Bum, bisa tolong angkat anak ini ke kursi?" Tari dan seorang secutity sudah berada di sana.
"Biar saya bantu saja mbak."
"Nggak usah pak, saya tahu bapak capek bekerja. Biar teman saya ini saja."
Bumi menoleh, sejenak. Lalu menggotong tubuh mungil ke atas kursi panjang depan kafe yang lengang. Tak ada sepatah katapun keluar dari bibirnya.