Namanya Gara, Sagara. Anak laki-laki yang paling cukup di antara teman-teman lainnya. Gara punya banyak mainan, permen cokelat. Baju Gara selalu saja ada yang baru. Baju-baju Cubitus keluaran terbaru, pasti Gara punya. Bekal makan siangnya selalu beragam, Hi -ganti. Tak seperti dirinya yang setara mie instan adalah makanan mewah dan luar biasa. Pagi itu, Gara berangkat sekolah sambil mengendarai sepeda barunya. Bumi yang masih mengamati jalan depan rumah dari jendela kamarnya nampak tak berniat untuk beranjak pergi ke manapun.
Ada seribu pertanyaan yang mencuat di kepala anak itu, kehidupan Gara yang serba ada dan beruntung, berbanding jauh terbalik darinya. Mungkin Gara tidak pernah punya perasaan sedih, seputus asa dirinya. tak pernah ada rumpang yang menyisa kelengangan di sudut hatinya, tak ada kekurangan yang mengharuskan Gara menangis. Sepertinya Gara bahagia. Bisa mendapatkan apapun yang dia mau. Tuhan selalu mencukupkan segala kemauannya. Tidak ada yang rumit dari permintaan Gara selama ini menurut Tuhan. Entah apa sebabnya kenapa permintaan Bumi tidak pernah sesederhana itu, menurut Tuhan. Selama ini, Bumi juga bukan anak yang nakal, tidak seperti Gara yang kerap kali mencuri kelerengnya. Lalu apa alasannya?
"Le, kok seragamnya belum dipakai? Sudah siang, nanti terlambat. "
Nanar tatapan Bumi dengan kedua mata berkaca-kaca. "Bumi nggak mau sekolah. "
Eyang bergerak mendekat, langkahnya lantas berhenti di ujung dipan menyisakan bunyi derit yang nyaring beberapa saat. Seperti biasa, telapak tangan keriputnya mengelus pelan puncak kepala Bumi yang mulai terisak.
"Ibu pasti sedih, kalau lihat anaknya nggak mau sekolah. "
"Eyang bilang, Ibu nggak lagi punya perasaan sedih, sekarang. "
"Ibu bisa jadi sedih karena Bumi, kebanggaannya nggak mau sekolah. " Jawab Eyang menuturkan. "Nanti malam Ibu nggak bisa lagi jadi bintang. "
Bumi mendongak, diusapnya air mata yang mulai menetes di pipi. "Tapi Bumi nggak mau sekolah. "
Rengekan Bumi membuat wanita senja itu merasa iba, tapi juga tak mau luluh, bahkan meski cuma sekali. Bumi bukan ditinggalkan untuk bisa dididik menjadi anak yang manja. Kelak, Bumi haruslah kuat, tiada siapapun yang tersisa kecuali dirinya yang entah kapan juga akan menyusul Ratna, putrinya yang baru saja berpulang.
Bumi mesti terbiasa dengan hal-hal baru sepeninggalan Ratna. Harus jadi lebih tangguh, dan kuat. Kadang, kesedihan dan kehilangan diciptakan untuk menambah kadar kekuatan seseorang, termasuk bagi dirinya dan Bumi.
Kepergian Ratna mungkin akan membuat hari-hari yang berjalan tidak lagi sama. Ada ruang-ruang kosong yang lengang ditinggalkan pemiliknya. Ada rumpang yang tidak lagi bisa digenapkan. Dan banyak hal lagi lainnya. Kehilangan memang ada untuk membuat kita bisa menghargai rasa pernah memiliki. Kini semua harus berjalan, mau tidak mau, sanggup tidak sanggup.
Eyang kemudian berdiri, menepuk pundak Bumi pelan-pelan, "Jangan menangis lagi. "
Sambil masih terisak, Bumi mengusap air mata dengan punggung tangannya. Eyang kemudian menggandeng tangannya pelan menuntun berjalan menuju kamar mandi. "Mandi, lantas pakai seragamnya, demi Ibu Bum. "
Ketika pintu kamar mandi tertutup, rasanya begitu hancur. Hidup memang tidak pernah bisa ia prediksi alurnya. Bumi yang sekecil itu mesti menelan pil pahit, terpisah dari kedua orangtuanya.
"Bumi, jadi anak laki-laki nggak boleh cengeng. " Suara serak eyang saat mengantar sekolah Bumi pagi itu tersampaikan dengan penuh ketegaran. "Anak laki-laki punya dunia di pundaknya, dia harus kuat sekuat baja."
Bumi yang saat itu masih berusia sembilan tahun menangkap kata-kata eyang sepotong-sepotong. Sekadar tahu, meski tak banyak tertafsirkan.