Angin kemarau yang lembab menghantam tubuhnya yang lesu. Embun nyaris terhempas, tersudut di depan toko berjendela besar. Bayangan samar di kaca memantulkan sosok rapuh dengan rambut cokelat kusut, seolah tak berdaya melawan angin.
Dia melangkah pelan, menunduk, menyusuri trotoar menuju kampus – perpustakaan kampus. Dia harus melewati ruangan tata usaha di mana suara mesin ketik terdengar samar dan dering telepon mengikutinya menyusuri lorong-lorong berliku untuk sampai pada tujuan yang diinginkannya.
Gedung tua dengan cat pudar itu menyambutnya dengan aroma buku, tenang dan sejuk, dan suara halaman yang bebisik, mengalir halus di antara rak-rak buku yang tinggi dan teratur. Embun menuruni tangga menuju rak bagian belakang. Jemarinya menyapu sampul-sampul buku, mencari sesuatu yang bisa menambal kekosongan dalam dadanya. Sesekali ia berhenti, menatap sampul, lalu menaruhnya kembali. Tidak ada yang benar-benar dia cari, tapi ritual itu memberinya ilusi arah.
Di sudut perpustakaan, sosok yang familiar muncul, Bayu. Dia tersenyum singkat, lalu berjalan mendekat.
“Bun,” panggilnya sambil berbisik tapi tetap mengejutkan Embun yang tengah terduduk diam tanpa melakukan apapun memandangi sebuah jendela besar yang menghadap ke sebuah taman.
“Ya Tuhan, Bayu, kamu ngagetin deh.”
“Kemarin kamu kemana, aku tunggu kamu seharian.” Keluhnya sambil berbisik-bisik.
“Hah.. kemarin?” tanya Embun nampak bingung.
“Ya, kemarin. Kita kan berjanji bertemu di kampus, kamu janji akan menemaniku mengambil gambar.”
“Bukannya besok yak?” tanyanya lagi memastikan.
“Kemarin dodol.” Ucap Bayu gemas.