Bayu Osaka. Satu-satunya orang yang membuat Embun merasa nyaman di tengah kekacauan pikirannya. Bayu selalu ada, tapi tak pernah memaksakan diri masuk terlalu jauh. Dia menegur saat Embun menyakiti diri, menggoda untuk mencairkan suasana, lalu diam-diam memastikan Embun makan tepat waktu dan beristirahat.
Kadang dia bertanya pada diri sendiri, apakah ini sekadar persahabatan, atau ada sesuatu yang lebih? Satu hal yang dia tahu pasti—dia tak pernah sanggup membiarkan Embun sendirian.
***
Siang itu panas terik. Bayu duduk di bangku taman kampus, tangannya sibuk meremas kaleng soda yang hampir kosong. Matanya sesekali menatap gerbang, menunggu. Lima menit, sepuluh, dua puluh. Embun belum juga muncul. Saat dia hendak mengetik pesan, sosok yang dia nantikan akhirnya datang.
“Hei, telat banget,” tegurnya, separuh kesal. Mata cokelat gelapnya menatap tajam namun tetap hangat. Rambut hitamnya yang berantakan basah oleh keringat, tapi Bayu memang tak pernah peduli pada tatanan rambut.
“Kamu nggak lihat pesan dariku?” suaranya lebih santai dari rasa kesalnya.
Embun tersenyum kecil, seperti baru bangun dari tidur panjang. “Hah? Pesan?”
Bayu mengangkat alis. “Iya. Aku udah nunggu setengah jam, Bun. Jangan bilang kamu lupa lagi.”
Embun mengernyit, menatap layar ponselnya. “Oh… maaf. Kayanya aku nggak lihat.”
Bayu menahan helaan napas. Ada yang janggal, ini bukan pertama kalinya Embun begitu.
“Kemarin juga. Kamu janji nemenin aku ambil gambar, tapi batal. Dan… kadang pas ngobrol kamu tiba-tiba manggil aku ‘Mas’. Nada bicaramu juga beda.”
Embun menegang, tangannya meremas tali tas. “Apa maksudmu?” suaranya bergetar.
“Aku cuma merasa… kadang kamu lupa, kadang juga berubah. Nada, sikap, semuanya beda. Aku nggak tahu kamu sadar atau nggak, tapi aku lihat itu.”
Dalam hati, Embun ingin menyangkal. Tapi suara lain di kepalanya berbisik, “Dia mulai menyadari.”
Bayu menurunkan nada suaranya. “Kamu lagi capek, ya? Atau ada yang dipikirin?”
Embun berusaha mengelak. “Mungkin cuma lagi nggak enak badan.”
“Are you sure?” tanyanya pelan.
Embun terdiam, menelan ludah. Lalu tersenyum tipis. “Iya. Aku baik-baik saja.”