Sore itu, ruang praktik Agatha terasa berbeda. Ada kehangatan baru yang hadir : seorang kawan lama yang kembali setelah waktu memisahkan. Teman satu angkatan, sahabat yang dulu pernah berbagi kelas dan cerita, kini duduk di seberang kursi, dengan luka batin yang dulu dalam namun perlahan pulih. Pertemuan mereka bukan lagi sekedar antara dokter dan pasien, melainkan dua sahabat yang pernah melewati masa sulit bersama, dan kini kembali bertemu – sebagai bukti bahwa waktu bisa menyembuhkan, dan sahabat bisa menjadi penawar paling manis.
Aukai Sal – akrab dipanggil Sal – belakangan makin sering menyambangi ruang praktik Agatha. Dulu mereka sama-sama menempuh studi psikologi, namun jalan yang dipilih kemudian berbeda. Agatha mendalami praktik klinis, sementara Sal memilih advanture therapy : pendekatan pemnyembuhan yang bertumpu pada alam, petualangan, dan tantangan fisik sebagai ruang pemulihan.
Obrolan mereka sore itu mengalir santai, meski penuh makna. Dari urusan sehari-hari hingga percakapan serius seputar dunia psikologi : kesejahteraan fisik, ketenangan batin, hubungan sosial, bahkan sisi spiritual yang kerap terabaikan.
Di tengah percakapan, pintu diketuk pelan. Erika, asisten yang sigap, muncul di ambang pintu. “Dok, ada seseorang yang ingin bertemu dengan anda,” bisiknya setengah pelan.
“Persilakan masuk, Erika,” ucap Agatha, lalu menoleh pada Sal. “Tetaplah di sini. Aku ingin mengenalkanmu pada seseorang yang istimewa.”
Tak lama, seorang perempuan melangkah masuk dengan percaya diri. Tatapannya tajam, senyumnya tipis – sedikit menggoda tapi juga menyimpan jarak. Dia duduk di kursi dengan gerak yang canggung namun penuh kewaspadaan.
“Halo, Nilam.” Sapa Agatha lembut. Dia sudah mulai terbiasa membedakan siapa yang datang kali ini – apakah Embun, Nilam, atau sosok lain yang kadang muncul. “Bukankah kamu tidak punya jadwal terapi hari ini?”
“Aku baru saja menjenguk Ibu. Sekalian mampir.” Jawab Nilam singkat.
“Kamu perhatian sekali.”
Nilam hanya mengangkat bahu. “Biasa saja.”
Agatha tersenyum, lalu memperkenalkan. “Ini kolegaku, Sal. Aku harap kamu tak keberatan.”
“Tidak sama sekali,” balas Nilam cepat.
Sal dan Nilam saling bertukar senyum – canggung, penuh jarak, tapi sarat rasa ingin tahu.
“Senang bertemu denganmu.” Sapa Sal, menatap lekat-lekat.
Ada jeda. Nilam tidak langsung merespon, hanya menyipitkan mata seolah sedang menilai. Akhinya, bibirnya melengkung tipis.
“Kenapa kamu menatapku seolah sudah mengenalku?” tanyanya.
“Mungkin karena memang terasa begitu.” Jawab Sal, disertai senyum kecil.
Nilam terkekeh lirih. “Mungkin kita pernah bertemu di kehidupan lain.”
“Atau mungkin kita pernah berpapasan di kehidupan ini, hanya saja belum saling kenal.” Sahut Sal, menaikan alis. “Entah kenapa aku yakin pernah melihatmu sebelumnya.”
Nilam tertawa kecil, nada suaranya ringan tapi matanya menyimpan rahasia. “Mungkin kamu memang pernah melihatku. Tapi itu bukan berarti kamu tahu siapa aku.”
Sal terdiam, namun hatinya justru makin tertarik. Ada sesuatu pada diri Nilam yang sulit diabaikan. Ada beberapa hal yang membuat pria ini terkesan pada pertemuan itu. Faktanya baik pria maupun wanita, akan kagum dan menyukai fisik seseorang yang menarik dipandang, terlebih jika sedang tersenyum. Senyum tipisnya – lebih mirip sinis ketimbang ramah – membawa kesan misterius. Sorot matanya tajam, penuh intensitas, membuat orang merasa tertarik sekaligus waspada. Kadang dingin, kadang penuh teka-teki.
Nilam tidak butuh usaha keras untuk menonjol. Justru karena dia tidak berbaur, keberadaannya terasa seperti badai yang bersembunyi di balik riak air tenang.
Sebagai seroang terapis, Sal mencoba menilainya. Nilam seperti cermin dari sisi manusia yang jarang ditampakan : rapuh tapi tampak kuat, hancur tapi tetap utuh. Kombinasi itulah yang membuat Sal tak bisa berpaling.
“Jadi, siapa kamu sebenarnya?” tanya Sal, menyandarkan tubuhnya ke kursi, kembali menatapnya dalam-dalam.
Nilam hanya tersenyum. Tak ada jawaban, hanya diam. Seolah pertanyaan itu bukan sesuatu yang perlu dia jawab hari ini.
Sal tahu satu hal : ada sesuatu yang tidak biasa dalam diri Nilam. Dan sejak pertemuan itu, dia yakin ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar – sesuatu yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.
***
Rumah tua milik Pak Bowo – suami Bibi Sarah – berdiri nyaman dan sederhana. Halaman depannya teduh oleh pohon mangga besar, memberi kesan sejuk bagi siapa pun yang singgah. Dari jalan masuk, semak bunga melati tumbuh rapi, dirawat penuh cinta oleh sang pemilik. Begitu pintu rumah terbuka, lorong menuju loteng menyambut, melewati ruang tamu dengan dinding bata yang dihiasi kolase putih besar. Di sanalah kamar Embun berada – ruang sederhana dengan pesonanya sendiri. Hangat, meski tata letaknya terasa kaku.
Hujan kemarau baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang khas. Nilam berdiri di depan cermin kamar itu, tersenyum pada bayangan dirinya sendiri – senyum yang kontras dengan raut Embun, yang lebih sering dihantui keraguan.