Ada orang yang menjalani hidup di dunia dengan tubuh dan pikiran yang utuh. Ada pula yang berjuang dengan retakan halus yang tak terlihat siapa pun. Embun tumbuh tanpa pernah benar-benar sendirian di dalam tubuhnya: ia harus berbagi ruang dan waktu dengan “sosok-sosok” lain yang terlahir dari rasa takut dan luka.
Ia lahir dua puluh tiga tahun lalu di sebuah desa kecil yang dihantui patriarki yang kuat. Menjadi anak satu-satunya, dibesarkan oleh sosok bapak yang dikenal tegas, cenderung keras, dan sosok ibu yang sibuk dengan dirinya yang terjebak dalam ketidakberdayaan.
Hasan, sebelum berubah menjadi seperti monster, ia dikenal sebagai lelaki kharismatik dan bertanggung jawab. Pesonanya membuat perempuan-perempuan di desa ini iri pada Emilia. Tapi dalam ingatan Embun, sosoknya adalah seseorang yang selalu mengepalkan tangan. Jari-jarinya rapat, seakan menggenggam sesuatu yang tak terlhat: kemarahan.
Sejak Emilia mulai “gila”, jari-jemari itu tak pernah benar-benar terbuka lagi. Dan meski terbuka, yang keluar hanyalah bentuk lain dari amarah yang ia tumpahkan—pada Emilia dan Embun.
Saat usianya baru tujuh tahun, Embun pulang terlambat. Hanya beberapa menit melewati batas waktu yang Hasan tentukan. Malam itu, ia dipanggil ke ruang kerja. Pintu ditutup. Suara pecahan kayu, bentakan, dan tangis kecil memenuhi ruangan itu. Embun keluar dengan tubuh yang gemetar dan mata yang kehilangan cahaya. Sesuatu dalam dirinya mulai retak.
Dan dari retakan itulah, Clara lahir—sosok yang berani ketika Embun tidak sanggup, sosok yang akan menahan semua rasa sakit ketika tubuh itu tak kuat lagi.
Perubahan Hasan dimulai dari rangkaian ulah dan luka yang disebabkan Emilia, membuat Embun terseret dalam pusarannya. Dalam setiap kekacauan, Clara yang maju menggantikan Embun.
Saat usianya delapan tahun, Hasan pulang dalam keadaan mabuk. Bunyi pecahan kaca dan teriakan memenuhi rumah. Ia memukuli Emilia. Pada saat itu, Embun kecil—yang hatinya masih murni, mencoba melindungi ibunya. Tapi tubuh kecil itu terlalu rapuh untuk menahan badai. Tamparan keras Hasan mendarat di pipinya. Untuk pertama kalinya, Embun merasa dunia berhenti berputar.
Clara belum sempat mengambil alih, tubuh Embun keburu terhempas ke lantai. Tapi saat Clara akhirnya muncul, semuanya berubah. Ia bangkikt tanpa gentar—menatap langsung pada Hasan, menatapnya dan membalasnya. Itu adalah momen pertama kalinya Clara merasakan apa itu marah, semua itu demi bertahan hidup.
Emilia, ibunya, terlalu sibuk dengan ketakutannya sendiri. Ia mencurigai sesuatu terjadi pada anaknya, tapi tak berani menyingkap tirai. Ia sendiri hampir tenggelam dalam ketidakberdayaan.