“Kata-katanya terus mengikuti saya, menembus telinga, menyerusak masuk ke dalam kepala sebelum saya sempat menutupnya,” lirih Clara, tapi penuh emosi.
Pada saat itu, sebenarnya telah menjadi masa lalu, waktu yang tidak bisa diputar kembali walau satu detik saja.
“Memang kata-kata apa yang menghantuimu, Lara?” tanya Agatha.
“Kalau kamu nggak nurut, saya nggak akan menganggapmu anak.” Ucap Clara.
Raut wajahnya tiba-tiba berubah. Kerutan di antara alisnya menampakan cerminan emosi yang tengah ia rasakan.
“Kata-kata itu seperti palu yang menghantam kepala saya berulang kali, mengikuti ke mana pun saya pergi.”
Agatha mendengarkan dengan sabar, kali ini Clara begitu sangat terbuka.
“Bapak mengucapkannya ketika ia sedang melakukan penghinaan terendahnya. Malam ketika ia memaksa saya menanggalkan pakaian saya sendiri, sebelum melakukan hal keji itu pada tubuh kecil yang seharusnya ia lindungi. Dan sepotong kalimat pendek itu mencabut tirai yang selama ini menutupi kebenaran: lelaki yang dianggap terhormat oleh semua orang ternyata hanyalah sosok yang menyembunyikan kebusukan.” Ceritanya panjang lebar
“Kadang saya bertanya-tanya, adakah cara untuk mengangkat kata-kata itu dari kepala saya? Adakah metode yang bisa membersihkan memori seperti dokter mengangkat peluru atau memotong tumor dari otak?” Clara tak henti-hentinya melanjutkan racauannya. “Tidak ada kan! Tidak ada yang bisa mengembalikan saya menjadi gadis kecil yang suci dan polos sebelum kata-kata dan perbuatannya merobek separuh jiwa saya. Sejak saat itu, saya harus mengambil alih setiap kali ia merasa terancam. Saya lahir untuk melindunginya, dan saya tidak akan pernah pergi.”
Agatha mulai melihat bagaimana Clara berjuang selama ini.
Tiba-tiba Embun hadir di saat Clara tengah meluruhkan isi hatinya. Embun kembali mendapati dirinya berada di ruang praktik Agatha—ruangan yang masih sama seperti dalam ingatannya: pengap, pencahayaan yang redup, seolah menyerap segala rasa nyaman yang tersisa. Dia tidak pernah benar-benar berniat untuk datang hari itu.
Segalanya sudah diatur oleh Nilam, seperti biasa. Tanpa benar-benar menyadari prosesnya, Embun kini sudah duduk di atas sofa, tubuhnya tampak tegang, dan jemarinya saling menggenggam dengan gugup. Ada kegelisahan yang sulit dijelaskan, terutama saat tatapannya secara sengaja menghindari mata Agatha. Seolah kontak mata saja bisa merobek pertahanan yang susah payah ia bangun.
“Halo, Embun. Kita bertemu lagi.” Sapanya. “Apakabar?” tambahnya.
“Baik.” Jawabnya malu-malu.
“Kamu tahu alasan kenapa kamu sekarang berada lagi di sini?” ujar dokter Agatha lembut.
Embun mengigit bibirnya, menunduk, terlihat ragu, dan menjawab, “Tidak, dok.”
“Embun, saya ingin membantu kamu, tapi untuk itu saya perlu sedikit memahami pengalaman kamu. Kita bisa bicara pelan-pelan. Apa ada hal yang membuat kamu merasa berat belakangan ini?” tanyanya lagi, mencoba mengali sambil mencoba membangun hubungan dengan Embun.
“Saya tidak tahu. Tapi Bayu, mengatakan kalau aku bertingkah aneh, aku lupa banyak hal, kadang dia merasa kalau aku seperti bukan diriku sendiri.”
“Apa kamu bisa menjelaskan bagaimana perasaanmu?” Agatha sambil mencatat, mencoba mengarahkan pembicaraan dengan lembut. “Kamu telah bercerita tentang bagaimana perasaan orang lain tentang kamu. Tapi bagaimana perasaan kamu sendiri?”
Embun terdiam, terlihat seperti sedang berpikir sangat kerat, sambil tangannya memainkan ujung kemejanya.
“Apa kamu bisa menjelaskan lebih banyak tentang perasaan itu, mungkin ada momen tertentu yang membuatmu merasakan apapun?” tanyanya lagi.
Embun yang terdiam cukup lama, suaranya gemetar saat akhirnya berbicara. “Mungkin sejak kecil.” Terdiam lagi. “Saya sering merasa takut. Bapak. Dia…” ucapnya sambil menarik napas dalam-dalam, dari tadi kata-katanya terus terpotong-potong.