Hujan gerimis membasahi trotoar kota. Bayu menatap layar ponsel, menunggu dan berharap yang tidak kunjung datang. Sudah hampir seminggu Embun menghilang. Terlalu lama untuk ukuran Embun.
Bayu tahu Embun sering menghilang, tapi kali ini perasaannya merasa tidak tenang dan berbeda. Pikirnya telah terjadi sesuatu pada sahabatnya itu. Ia mencoba menelepon—yang sudah kesekian kalinya.
Nada sambung terputar, hingga akhirnya tersambung.
“Embun? Kamu di mana?” tanya Bayu, cemas.
“Halo.” Suara itu suara Embun—tapi bukan Embun, aksen dan nadanya berbeda.
“Aku mau bicara sama Embun.”
“Sayangnya, dia nggak bisa bicara sekarang.” Katanya dengan nada ringan.
Bayu mengerut. “Ini siapa?”
“Nilam.” Jawabnya.
Jantung Bayu merosot. Nama itu—terdengar akrab di telinganya, nama itu pernah ia dengar, di tepi danau, ketika Embun bercerita tentang ‘bagian lain dari dirinya’.