Matahari turun perlahan, mewarnai langit dengan jingga keemasan seperti sapuan kuas pelukis yang sedang jatuh cinta pada senja. Sal duduk di bangku taman, menyesap kopi kemasan yang mulai menghangatkan telapak tangannya. Ia hanya ingin istirahat sejenak—melihat burung-burung kecil kembali ke sarang, meresapi dunia tanpa suara.
Kejadian sebelumnya cukup membuat Sal larut dan mencari-cari segala kemungkinan yang terjadi pada Nilam.
Ia tidak percaya kebetulan. Namun dari kejauhan, muncul sosok yang memenuhi kepalanya selama berhari-hari itu.
Tak jauh, lewat perempuan mengenakan blus hitam sederhana, rambut tergerai sedikit berantakan karena angin, dan tatapan yang masih menyimpan cahaya yang sama seperti yang mengusik hati Sal sejak pertama kali bertemu. Tanpa sadar tubuhnya bergerak, langkahnya terayun mendekat seperti gravitasi yang tak bisa ia lawan.
Perasaannya pada Nilam masih sama—jantungnya masih berdebar saat melihatnya, meski ia sudah menghadapi kejadian munculnya Embun secara tiba-tiba.
“Nilam,” panggilnya.
Nilam menoleh. Senyum muncul perlahan—samar, canggung, tapi hangat. Senyum yang sama yang selalu tinggal dalam ingatan Sal.
“Sal… aku nggak mengira kita bakal ketemu di sini.”
Siapa bakal mengira, pikir Sal. Perempuan ini sepanjang hari ada dalam pikirannya, namun hatinya terasa bimbang, sebagian senang bertemu dengannya, sebagian lagi terasa berat, karena terlalu banyak hal yang ingin ia tanyakan.
“Sepertinya kamu memang suka kemana-mana sendiri,” ucap Sal mencoba mencairkan suasana.
“Aku tidak sendirian.”
Sal sontak terdiam. Namun sebelum pikiran liar menyesaki kepalanya, Nilam meliriknya lembut. “Sekarang ada kamu.”
Dan hujan pun turun tiba-tiba, tanpa aba-aba. Sal refleks menarik tangan Nilam, membawanya ke tempat berteduh di bawah kanopi sebuah bangunan tua. Mereka kini berdiri berhadapan, napas mereka berkejaran, bukan saja karena berlarian, tapi jarak mereka terlalu dekat, dan pikirannya terlalu riuh.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Sal, suaranya pelan tapi penuh perhatian.
“Baik,” jawab Nilam singkat. Tidak membalas pertanyaan balik, seakan menjaga jarak agar batasan itu tetap jelas terlihat.
Sal, ia terus berusaha mencari tahu kabarnya. “Dan kamu… ke mana saja selama ini?”
Nilam menunduk, mengigit bibirnya. “Aku nggak yakin kamu benar-benar ingin tahu.”
Sal mengulurkan tangan, mengangkat dagu Nilam agar ia mau menatap. “Kalau aku nggak ingin tahu, aku nggak akan nanya.”
Untuk sesaat, dunia berhenti pada kedua pasang mata itu—mata mereka seolah berbicara lebih banyak daripada kata yang bisa diucapkan oleh bibir. Dan hanya hujan yang bicara di antara mereka.
Angin dingin menyusup. Nilam mengigil. Sal menariknya ke dalam pelukan. Nilam tidak menolak—kepalanya tenggelam di dada Sal yang bidang, tubuhnya menyatu dalam hangat yang baru. Sal merasakan aroma wangi melati dan sedikit sentuhan vanila yang terasa dari rambut Nilam yang basah.