Angin berhembus pelan di sebuah taman kecil pada sore hari. Aroma basah setelah hujan masih menggantung, membangkitkan banyak kenangan yang tak ingin begitu saja pergi. Embun duduk di bangku kayu tua, menatap daun-daun kecil yang jatuh pelan dari pohon di depannya.
Bayu datang dari belakang, langkahnya sengaja dibuat mengendap-endap. “Eh… ayam… ayam…” bisiknya sambil mengagetkan Embun.
Embun terperanjat. Begitu melihat siapa pelakunya, ia tanpa ragu meninju lengan Bayu sambil berteriak, “BAYU!”. Sementara Bayu terkekeh melihat Embun terkejut oleh sikapnya.
Di tengah seluruh kekalutan yang melanda hidup Embun, Bayu selalu muncul dengan cara paling sederhana—tapi paling berarti. Seperti cahaya kecil yang menembus gelapnya pikirannya. Saat berada di samping Bayu, Embun merasa dirinya sedikit lebih utuh.
Mereka bertemu lagi di taman yang sejak dulu selalu menjadi tempat persembunyian Embun setiap kali dunia terasa terlalu berat.
“Aku hampir lupa kamu masih suka datang ke tempat ini,” ujar Bayu sambil duduk di sebelahnya.
“Aku juga hampir lupa,” ujar Embun lirih. “Ternyata aku masih merindukan taman kecil ini.” Embun tersenyum samar.
“Tempat ini nggak banyak berubah, ya?”
“Iya. Tapi kita yang berubah.”
“Mungjkin. Tapi setiap kali aku di sini, rasanya aku tetap jadi anak kecil yang dulu suka berlarian. Kamu seperti itu nggak, Bun?”