Malam itu, di tengah tumpukan tugas kuliah, Embun duduk gelisah menatap layar komputer, berusaha mengerjakan tugas kuliah yang menanti untuk diselesaikan. Tapi pikirannya kusut, dan hatinya berat.
Tiba-tiba ponsel bergetar.
Bayu Osaka : Keluar. SEKARANG JUGA!
“Hah?” Embun mengerutkan kening.
Ranu Embun : Ke mana?
Bayu Osaka : Nggak tahu. Yang jelas keluar dari kamar sempit itu. Lima menit. Kalau nggak, aku dobrak pintumu, hahaha…
Bayu Osaka : Pakai jaket tebal, dan bawa baju cadangan.
Lima menit kemudian, Embun sudah berdiri di pinggir jalan, lengkap dengan jaket tebal dan ransel darurat. Di bawah langit malam yang samar-samar cahaya lampu jalan, Bayu sudah menunggu, menurukan kaca helm, menampilkan senyuman jahilnya.
Tanpa ada pilihan, Embun naik ke jok belakang motor Bayu, ia melirik dari kaca spion, lalu mengacungkan jempolnya.
“Kamu percaya aku, kan?”
“Maksudnya?” Embun bingung, sekaligus dibuat penasaran.
“Pegangan, ya!”
Sebelum ia sempat protes, motor melesat menembus dinginnya malam. Embun menjerit. Bayu tertawa.
“Kita mau ke mana sih?” tanya Embun di balik helmnya.
“Rahasia,” Bayu terkekeh.
Udara semakin dingin saat mereka mulai memasuki kawasan perkebunan teh. Embun merapatkan tubuh sambil memegang jaket Bayu.
“Dingin banget,” keluhnya.
Tanpa bicara, Bayu menarik tangan Embun ke depan, melinhkarkannya di pinggangnya.
“Peluk aku. Daripada kamu beku di belakang.”