Setelah perjalanan mereka ke pantai, Embun menjalani perubahan emosi, ada sedikit perasaan sedih, dan kembali merasakan kesepian. Kondisi ini bisa terjadi, setelah mengalami sebuah perjalanan yang menyenangkan.
Embun terlihat lelah, ada momen di mana tanpa sadar ia menunjukan sisi lain dirinya yang membuat Bayu kembali ingin mempertanyakan hal-hal yang selama ini ingin ia ketahui.
Pada malam yang tenang, mereka duduk berdua di teras belakang rumah Pak Bowo, ditemani secangkir teh hangat. Di bawah cahaya lampu yang temaram—nyaman, tapi ada ketegangan emosional yang perlahan terbangun.
Embun memainkan ujung jaketnya, nampak gelisah. Ia masih saja menutup dirinya, ia belum bisa tenang menjadi dirinya sendiri. Bayu berusaha mencari celah, memecah kesunyian.
“Ranu Embun,” panggil Bayu lembut.
Embun yang sedari tadi gelisah dengan tatapan kosong, mengalihkan pandangannya perlahan pada sumber suara. “Kenapa memanggil namaku begitu lengkap?” tanyanya. “Kamu membuatku khawatir.” Lanjutnya.
Bayu menghela napas panjang, menelan ludah, seperti menimbang-nimbang sesuatu dalam benaknya, pikirnya mencoba merangkai kata-kata. “Apa kamu merasa sudah mengenali dirimu sendiri?” Bayu akhirnya bertanya.
“Maksudmu?” Embun tampak bingung.
“Pernahkah kamu merasa kalau ada bagian dalam dirimu yang kadang nggak kamu kenali, ternyata itu adalah kamu juga,”
Embun terdiam. Bukan kenapa, tapi mencoba memahami apa maksud dari sahabatnya itu.
Setelah jeda beberapa detik, Bayu lanjut berkata, “Kadang aku merasa kalau aku itu orang yang serius, padahal kamu tahu aku tidak seserius itu orangnya.”
Embun belum bisa mengikuti arah pembicaraan yang Bayu maksud.
“Kamu boleh menyangkalnya, kalau aku ternyata salah berasumsi tentangmu,” lanjut Bayu. “Terkadang, aku merasa kamu tidak seperti Ranu Embun yang kukenal. Aku pernah bingung satu waktu, karena kamu bicara dengan cara yang sangat berbeda.” Ia tertawa kecil, tahu bahwa ini omong kosong, tapi tetap ada kegelisahan di matanya.
“Bay,” panggil Embun dengan suara pelannya, dan itu membuat Bayu merasa sedikit bersalah.
“Aku sempat berpikir kalau kamu itu memiliki kepribadian ganda.” Ujar Bayu dengan canggung.
Embun mulai menangkap maksud dari semua yang coba Bayu katakan dari awal pembicaraan ini. Ia takut, sesuatu yang ia pendam—rahasia terbesarnya—selama ini perlahan semua orang yang ada di dekatnya mulai mengetahuinya.
Bayu mendekatkan tubuhnya, sejajar dengan Embun yang diam membeku. Menatapnya lebih dalam, berkata, “Aku nanya ini bukan karena mati penasaran tentang hal-hal yang tidak ingin kamu bagikan padaku. Aku ingin tahu, karena aku peduli. Aku ingin mengert.” Bayu mencoba meyakinkan kalau saja ia tak bermaksud lain-lain dalam konteks pembicaraan kali ini.