BUNGA 3 WARNA

Ayu S Sarah
Chapter #19

CURAHAN

Embun berdiri di depan pintu kamar nomor tujuh belas dengan detak jantung yang kembali melompat tidak beraturan. Kenop pintu terasa dingin di tangannya—dingin yang mengingatkannya pada malam-malam saat ia masih kecil, mencari pegangan, tapi tidak menemukan siapapun.

Terakhir kali ia berdiri di sini, udara seperti mengeras di sekeliling tubuhnya, membuat napasnya tinggal separuh. Kali ini berbeda—tidak lebih ringan, tapi ada dorongan dari dalam begitu kuat, seperti sesuatu di dadanya mendesak untuk diselesaikan. Sebuah keberanian yang aneh, rapuh, tapi nyata.

Perlahan ia memutar kenop. Suara pintu terbuka itu terdengar seperti retakan kecil dari masa lalunya.

Emilia masih duduk di kursi dekat jendela, persis seperti yang diingat Embun. Bahunya mengerut, punggungnya membungkuk, seolah dunia sudah terlalu berat untuk ditanggung. Cahaya sore jatuh menimpa wajahnya dan membuat garis usia tampak lebih dalam, lebih menyedihkan.

Embun masih berdiri di ambang pintu, tidak langsung mendekat. Keheningan menggantung di antara mereka.

“Embun,” tiba-tiba panggilnya. Suara itu tidak setajam dulu, tapi tetap membuat sesuatu di dalam hati Embun menegang.

Mata mereka bertemu, dan dalam hitungan detik kenangan menyerbu—teriakan atau pun sunyi yang mencekik, pecah belah, pintu membanting, tubuh kecilnya yang mengigil di sudut kamar, tatapan ibunya yang kosong, seolah Embun tidak pernah benar-benar ada, dan semua hal yang dulu tidak pernah bisa ia pahami.

“Aku ingat semuanya, Bu.” Suara Embun pecah, tapi matanya tetap menatap lurus. “Aku ingat saat kamu membiarkan aku menangis sendirian. Aku ingat malam-malam saat aku berharap kau memelukku, tapi yang kudapat hanya pintu tertutup. Aku ingat semuanya sekarang. Dan itu… sangat menyakitkan.”

Emilia menahan napas, lalu perlahan berlutut. Tangannya terulur, gemetar—seakan meminta sesuatu yang bahkan ia sendiri tahu tidak pantas ia dapatkan.

“Kenapa…?” Embun bertanya, tidak lagi berteriak, justru lebih pelan—karena pertanyaan yang dibisikkan dengan luka jauh lebih tajam daripada teriakan. “Kenapa kamu biarkan semua itu terjadi padaku?”

“Aku tidak pantas dimaafkan,” suara Emilia hancur.

“Tidak.” Jawab Embun. “Kamu tidak pantas.”

Embun menarik napas panjang, seperti menegakkan dirinya di tengah badai yang sudah terlalu lama ia hadapi. “Tapi aku akan memaafkanmu. Bukan untukmu—untuk diriku sendiri. Aku ingin berhenti membawa semua ini.”

Lihat selengkapnya