Jika seekor burung jatuh cinta pada seekor ikan, di mana mereka bisa hidup bersama? Secara sederhana: tidak ada tempat itu. Burung milik langit dan ikan milik laut. Apapun rasa yang tumbuh di antara mereka bukanlah cinta yang bisa diperjuangkan—itu hanya ilusi yang manis, hangat, tapi mustahil diwujudkan.
Mereka bisa saling mengagumi, saling merindukan, saling memandang dari kejauhan, namun tidak pernah benar-benar berdampingan.
Ada ungkapan bahwa cinta dapat mengatasi segalanya. Kedengarannya indah, seperti dongeng yang menenangkan hati. Tapi untuk Nilam dan Sal, ungkapan itu tidak berlaku. Cinta bukan keajaiban. Cinta tunduk pada hukum alam. Burung yang memaksa berenang akan tenggelam, ikan yang memaksa terbang akan jatuh dan mati.
Lalu bagaimana dengan mereka yang tetap berjuang? Mereka bukan pejuang. Mereka korban. Korban dari dongeng yang manis yang meyakinkan manusia bahwa cinta bisa sekuat itu, padahal alam semesta sering kali memberikan batasan yang tak dapat ditaklukan hanya dengan keinginan untuk mencinta.
Apakah itu berarti cinta sia-sia? Tidak. Bukan begitu. Cinta tetap berharga, tetapi cinta juga membutuhkan akal sehat.
Burung butuh udara. Ikan butuh air. Kisah cinta mereka adalah metafora tentang dua hati yang dipisahkan oleh dunia yang terlalu berbeda. Tidak semua orang yang jatuh cinta ditakdirkan untuk bersatu, dan memaksakan yang tidak mungkin justru membuat cinta itu sendiri menjadi luka.
Burung akan membawa cintanya terbang tinggi, dan ikan akan membawa cintanya tenggelam jauh ke dasar bumi.
Sal bisa saja terus mencintai Nilam—namun ada satu fakta yang tidak bisa ia hindari: perasaannya akan selalu berakhir rumit, karena Nilam hanyalah bagian dari Embun. Bagian yang hidup, bernapas, tersenyum, namun tidak pernah benar-benar memiliki dunianya sendiri.
***
Setiap kali hujan reda, aroma tanah basah selalu membangkitkan kenangan. Malam itu, Nilam duduk di depan cermin kamar. Wajahnya tampak muram: alisnya turun, bibirnya tertekuk ke bawah. Ia menggenggam botol parfum favoritnya, menyemprotkannya ke pergelangan tangan lalu mengusapkannya ke leher. Wangi itu ia harapkan bisa menguatkan hatinya—meski sedikit saja.
Ia meraih jaket kulit yang tergantung di kursi dan keluar dari kamar. Kakinya melangkah otomatis ke sebuah kedai kecil tempat ia sering menghabiskan waktu, entah untuk menikmati secangkir cappucino hangat atau sekedar melamun.
“Dunia terlalu membosankan kalau aku tidak ke sini,” bisiknya pelan.
Begitu masuk, ia hendak menuju tempat duduk langganannya di dekat jendela—namun langkahnya berhenti. Sal sudah ada di sana. Ia duduk sambil menatap langit yang perlahan menggelap. Untuk sesaat, udara di dalam kedai terasa berat, seolah ada sesuatu yang menggantung di antara mereka berdua. Sesuatu yang tidak bisa mereka hindari lagi.
Nilam berdiri tidak jauh dari meja itu. Biasanya ia percaya diri, anggun, sedikit nakal bahkan. Tapi kali ini, ia seperti mati gaya.
“Nilam, kami apa kabar?” ucap Sal dengan suara yang hampir tak terdengar.