Terik matahari masih belum tertutupi oleh awan. Sore ini Risa harus mengikuti ekstrakurikuler musik. Seperti biasanya, ia selalu datang mendahului teman-teman yang lainnya. Musik memegang bagian penting dalam hidup Risa. Bahkan, ia tak enggan menyebut musik sebagai hidupnya. Tak heran jika semangatnya selalu membara saat hari rabu tiba.
“Woi!” Seseorang memekik, menepuk pundak Risa yang sedang duduk di sudut ruangan. “Sendiri aja, Mbak?” Cowok itu menaik-turunkan alisnya.
“Sialan, gue kira setan.” Risa mengelus dadanya, memastikan jantungnya tak copot. “Tumben lo dateng jam segini, Van?” selidiknya. Ia memandangi cowok yang sedang mengeluarkan gitar dari dalam tasnya. Biasanya, cowok bernama Vano selalu datang terlambat. Baru kali ini ia melihat Vano datang sebelum jam ekstrakurikuler dimulai.
“Gue gak pulang,” sahutnya, “ganti baju doang, makan siang, terus langsung ekstra.”
“Kenapa gak pulang?” tanya Risa lagi. Ingin rasanya ia memukul bibirnya sendiri karena terlalu ingin tahu urusan orang. Beginilah Risa, selalu kesulitan untuk mengontrol ucapannya sendiri. Ia selalu mengungkapkan apa yang ingin ia ungkapkan, dan tak segan bertanya apabila ia ingin tahu sesuatu.
“Lisa ada rapat OSIS.”
Risa mengangguk-angguk. Ia tentu sangat mengenal gadis yang disebut Vano tadi. Lisa adalah teman sebangkunya—yang juga merupakan saudara kembar Vano. Terlepas dari apa alasan Vano datang lebih awal, Risa tentu sangat senang. Setidaknya, ada yang menemaninya menunggu di ruang musik. Sendiri itu selalu membosankan baginya.
“Nyanyi, Ris,” perintah Vano. Cowok itu memainkan chord dari sebuah lagu yang ia sukai. Risa adalah pencinta musik, Vano yakin Risa tahu lagu ini. “Ketinggian, gak?” tanyanya.
“Ketinggian,” ujar Risa, “coba dari F?”
Sesuai perintah sang vokalis, Vano memainkan chord dengan nada dasar F. Risa pun langsung bernyanyi sesuai dengan iramanya. Suara Risa memang tak semerdu Raisa, tetapi cukup baik untuk didengar. Telinga Vano dapat menyambut suara gadis itu dengan baik. Ia bahkan menikmatinya. Bagi seorang gitaris pemula seperti dirinya, memiliki vokalis adalah hal yang paling mengasyikkan. Ah, tunggu, memiliki? Tidak, ia belum memiliki Risa.
Sebenarnya, Vano adalah seorang pianis. Keterbatasan fasilitas sekolah membuatnya menjelma sebagai seorang gitaris. Walau begitu, permainan gitar Vano tak bisa dibilang buruk. Buktinya, Pembina ekstrakurikuler musik selalu menjadikan dia sebagai contoh. Padahal, banyak kakak kelas yang juga berposisi sebagai gitaris.
“Aku ingin dirimu … yang menjadi milikku … bersamaku mulai hari baru, hilang ruang untuk cinta yang lain ….”Alunan lirik pada lagu berjudul Adu Rayu itu membuat Risa hanyut dalam nada yang tercipta. Walau dengan setengah terpejam, matanya bisa menangkap gerakan jari Vano memetik senar gitarnya. Cowok ini selalu keren saat bermain gitar.