“Gimana, ya, May? Gue malah jadi kepikiran banget soal ini,” ucap Risa, “padahal di depan Bu Ardina, gue kaya gak peduli.” Ia memegang erat tali tas punggungnya dengan pandangan lurus ke jalan raya. Ini bukan pertamakalinya mereka pulang sekolah dengan berjalan kaki. Kadang, Risa dan Maya memilih untuk berjalan kaki karena bisa berbagi cerita sepanjang perjalanan. Lagipula, tiga kilometer tidaklah terlalu jauh untuk mereka berdua.
Maya berjalan beriringan dengan Risa. Ia memandang wajah sahabatnya yang penuh keringat itu dengan sekilas, lalu tersenyum tipis. “Lo emang paling jago nutupin luka,” ujarnya.
“Gue gak pernah nutupin, cuma gak nunjukin aja.” Risa menghela napasnya. Tangannya menepis lembut keringat yang bercucuran di keningnya. “Lagian, buat apa nunjukin luka ke orang lain?” sambungnya.
“Lo boleh nutupin ke orang lain, tapi jangan pernah nutupin itu ke orang terdekat lo, Ris,” jawab Maya.
“Iya, Maya. Gue kan, emang gak pernah nutupin masalah sama lo.”
“Bukan cuma gue,” Maya menatap tajam ke arah Risa, “tapi juga orang tua lo, Ris. Mereka perlu tahu soal ini.”
Risa menundukkan kepalanya. Kerongkongannya mulai terasa kering. Matahari tak terlalu terik siang ini. Mendung di langit seolah mewakili perasaan Risa yang berkabut. “Gue gak bisa nambah beban mereka, May,” ujar Risa pelan. Ia meneguk ludahnya seraya memutar pikirannya lagi. “Tolong cariin solusi ya, May? Gue mau deh kalau harus kerja, apa pun itu, asal gue gak nambah beban orang tua gue lagi.”
“Tapi, Ris ….”
“May, please … lo ngerti gue, kan?” potong Risa.
*****
Risa melempar tas sekolahnya ke atas ranjang yang saat itu dibalut seprai berwarna merah muda. Ia merebahkan badannya, menatap dinding putih yang berisi dua cicak yang sedang berlari-larian. Cicak tuh ga ada kerjaan banget ya? Ngapain coba lari-larian. Padahal, rebahan itu enak, loh. Ada-ada aja, pikir Risa.
Risa benar-benar bingung, tidak tahu mau bicara apa pada orang tuanya. Ia tidak mau menambah beban pikiran mereka, tetapi tidak mungkin juga kalau dia diam saja. Mau tidak mau, ia harus mengatakan semuanya. Matanya terpejam, dengan tangan terlentang dan kaki yang naik ke atas tembok. Ia memutar otaknya, berusaha mencari jalan keluar untuk masalahnya sekarang.
Uang tabungannya telah habis untuk membayar biaya les adik kembarnya tempo hari. Ia tahu, orang tuanya tak mungkin memiliki uang lagi sekarang. Usaha konveksi sang ayah sedang berada di titik terendah. Kini, keluarganya hanya mengandalkan hasil dari usaha kue milik bundanya. Biaya komite sekolah Raka juga belum dibayar, belum lagi cicilan rumah. Terlalu banyak pengeluaran yang harus dipenuhi oleh orang tua Risa. Ia benar-benar tidak sampai hati untuk meminta uang lagi.