WANITA itu seharusnya tidak berada di sini sekarang. Tidak untuk saat ini, bahkan untuk selamanya. Tak ada yang mengharapkan kedatangannya, tak ada yang menginginkan keberadaannya. Setidaknya....
"Aku turut berduka cita, ya, Mas."
Perkataan yang penuh kebohongan, suara yang seolah mengatakan ia telah menang.
Puspa tahu untuk apa ia datang, ia ingin menunjukkan bahwa dirinyalah sang pemenang, dirinyalah yang sudah menjuarai permainan; permainan yang diciptakannya sendiri, dengan aturan dan caranya sendiri, menjadikan orang-orang sebagai musuh yang harus dikalahkan, dan ia telah berhasil mengalahkan musuh utama; menumbangkan pilar, meruntuhkan apa yang disangga, dan meleburkan semua yang bernaung di bawahnya.
Seperti beberapa hari yang lalu, Puspa tak bisa berteriak di depannya kali ini. Setelah pemakaman yang dilaksanakan satu jam lalu, masih banyak orang berdatangan ke kediaman Puspa. Tak mungkin Puspa menyeret wanita itu ke luar atau ke mana pun itu lalu mengeluarkan emosinya, itu tidak mungkin karena pasti akan menarik perhatian orang-orang dan membuat sang papa murka serta malu.
Puspa menatap gusar wanita itu ketika mencoba untuk duduk lebih dekat dengan papanya. Hatinya semula hanya diisi kesedihan, sekarang bercampur dengan kemarahan yang tertahan.
Puspa muak melihat pemandangan di depannya, ia beranjak dari sana dengan langkah yang cukup cepat, menaiki anak tangga menuju kamarnya di lantai dua.
Sesampainya di kamar, Puspa melempar dirinya ke kasur, menenggelamkan wajahnya di bantal. Perlahan, air mengalir dari sudut matanya, dadanya sesak, hatinya benar-benar terasa sakit.
Belum ada satu hari mamanya meninggal, dengan berani wanita itu mendekati papanya. Lebih parahnya lagi, sang papa tak menyadari bahwa kata 'sahabat' hanyalah tameng yang diciptakan wanita itu untuk selalu dekat.
Di tengah tangisnya, Puspa menyesali takdir hidup yang diterjadi. Kenapa? Kenapa harus keluarganya? Kenapa harus dirinya? Kenapa kisah hidupnya begini? Tidak adakah kisah yang lebih baik lagi? Di mana ketenangan yang dulu ada? Ke mana kehangatan itu pergi? Segala pertanyaan yang menyalahkan takdir itu bercokol di kepalanya.
"Ma ...." Lirihan yang menyakitkan. Ingin rasanya ia berteriak, melepas semua beban di hati dan kepala. Bagaimana kehidupan setelah mama tiada?
Entah berapa lama ia tenggelam dalam kenelangsaan, hingga akhirnya kelopak mata itu menutup dengan sendirinya. Ia kelelahan. Lelah dengan sedih dan marah yang diam-diam menggerogoti jiwa.
Tak ada yang tahu apa yang terjadi di dalam lelapnya. Apakah mimpi indah atau mimpi buruk menakutkan yang akan membangunkannya secara tiba-tiba.
🌸🌸🌸